Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gaji Tak Cukup, Tekad Kuat, PLD Agus Selesaikan Doktoral!

23 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 23 Oktober 2024   19:53 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lalu Agus Murzaki saat sebagai penyaji dalam Desiminasi Hasil Penelitian Disertasi (sumber: dokpri)

Raungan sepeda motor tua itu menggelegar memecah pagi di Desa Ranggagata, Lombok Tengah. Agus, seorang Pendamping Lokal Desa (PLD), menggenggam erat setang motor Supra X tahun 2005 miliknya. Kendaraan yang telah menemaninya selama bertahun-tahun dalam mengawal Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya — tidak hanya dalam mengawal program, tapi juga dalam mengejar mimpi besarnya: menyelesaikan gelar doktor di UIN Mataram.

Hari-hari bagi Agus tak pernah sederhana. Gajinya sebagai PLD—yang ia peroleh dari tugas-tugas di lapangan, mulai dari mendampingi musyawarah desa hingga menyusun laporan administrasi yang ruwet—jauh dari cukup. Namun, itu tak menghentikan tekadnya menambah ilmu dan wawasan. Sebagai seorang pendamping, ia sadar bahwa perspektif dan pemahaman yang lebih luas akan memberinya alat untuk lebih berdaya dalam mengawal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Gaji Tak Cukup, Tekad yang Tak Kunjung Padam

Dengan gaji yang tidak seberapa, menyelesaikan studi doktoral di tengah kesibukannya sebagai PLD menjadi tantangan besar. Di awal masa perkuliahan, Agus sempat berharap pada beasiswa stimulan dari pemerintah provinsi yang konon dijanjikan akan mendukung selama masa studinya. Namun harapannya hancur ketika beasiswa itu hanya diberikan untuk satu semester saja. SPP yang menumpuk menjadi masalah besar, belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi.

“Setelah semester pertama, saya benar-benar kebingungan. Kalau saya berhenti, apa yang saya dapatkan dari kerja keras ini? Saya sudah setengah jalan, tapi kalau teruskan, saya tidak tahu dari mana uangnya,” cerita Agus dengan mata yang berkaca-kaca mengingat masa sulit itu.

Dalam keputusasaannya, Agus nyaris terseret ke jurang hutang dari pinjaman online (pinjol). Ia merasa tak punya pilihan lain saat beban keuangan semakin menekan. “Saya pikir ini jalan keluar, tapi ternyata malah menambah beban. Cicilannya lebih dari yang bisa saya bayar dengan gaji bulanan,” kenangnya.

Meski terjebak dengan masalah finansial, Agus tak mau menyerah. Ia mulai mencari cara lain mendapatkan tambahan penghasilan. Di sela-sela kesibukannya sebagai PLD, Agus mengasah kemampuan menulis naskah media lokal. 

Ia juga memberikan les privat kepada anak-anak sekolah di sekitar tempat tinggalnya. Meski hasilnya tak besar, setiap rupiah yang ia peroleh digunakan untuk membayar biaya kuliah yang terus menggunung.

Peran Keluarga, Guru dan Dukungan Masyarakat

“Tanpa dukungan istri, anak-anak, dan guru saya, mungkin saya sudah menyerah,” ujar Agus. Keluarganya menjadi kekuatan terbesar, terutama istrinya yang rela memangkas pengeluaran demi membiayai kuliahnya. Selain itu, sosok penting lainnya adalah Prof. Dr. Adi Fadli, guru spiritualnya. Prof. Adi tak hanya membimbing secara akademik, tetapi juga memberikan nasihat hidup yang mendalam. 

“Kesabaran dan keikhlasan adalah kunci,” katanya, yang terus menjadi pegangan Agus dalam menghadapi kesulitan. Dukungan keluarga dan bimbingan spiritual dari Prof. Adi membuat Agus terus bertahan dan maju, meski tantangan berat kerap menghadang.

Selain keluarga dan gurunya, masyarakat desa di tempatnya bertugas juga sering memberinya semangat. “Banyak warga yang bilang, 'Tetap semangat, Pak! Kami tunggu gelar doktor Bapak.' Itu memberi saya dorongan untuk terus maju. Saya sadar, gelar ini bukan hanya untuk saya pribadi, tapi juga untuk desa yang saya dampingi,” katanya sambil tersenyum.

Bagi Agus, mendalami ilmu di tingkat doktoral memberikan perspektif baru dalam menjalankan tugasnya. Ia merasa bahwa tugas pendamping bukan sekadar mengawal administrasi dan program-program dari pusat, melainkan juga menjadi bagian dari transformasi masyarakat desa. Wawasan yang ia dapatkan di bangku kuliah membuatnya lebih peka dalam menangani dinamika sosial dan ekonomi desa, serta lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang turun dari atas.

Pelajaran Penting bagi Para Pendamping Desa

Perjalanan Agus menjadi contoh nyata bahwa keterbatasan bukanlah alasan berhenti mengejar ilmu. Ia ingin berbagi pengalamannya kepada rekan-rekan sesama PLD di seluruh Indonesia.

 “Pendamping desa itu ujung tombak pembangunan desa. Kalau wawasan kita sempit, kita hanya akan menjalankan perintah tanpa memberikan nilai tambah untuk desa. Makanya, penting sekali untuk terus belajar, meski sulit,” tegasnya.

Agus mengajak para PLD lainnya untuk tidak takut menghadapi tantangan, baik di lapangan maupun dalam kehidupan pribadi. “Saya tahu gaji kita sering kali tidak cukup, tapi itu bukan alasan berhenti belajar. Bagi saya, belajar itu tidak hanya menambah wawasan, tapi juga memperkaya jiwa kita sebagai pendamping. Kita bukan hanya fasilitator program, tapi juga agen perubahan bagi desa-desa yang kita dampingi,” tambahnya dengan penuh semangat.

Harapan kepada Kementerian Desa dan Menteri yang Baru

Agus juga tak segan menyuarakan harapannya kepada Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, terutama kepada menteri yang baru, Bapak Yandri Susanto. Menurutnya, perhatian terhadap kesejahteraan para pendamping desa sangat penting agar tugas-tugas di lapangan bisa berjalan lebih optimal. 

“Kami ini adalah kaki dan tangan dari program-program pusat di desa. Kalau kesejahteraan kami diabaikan, bagaimana kami bisa bekerja dengan maksimal? Saya harap, pemerintah lebih memperhatikan nasib kami, terutama terkait gaji dan fasilitas pendukung kerja,” ucap Agus.

Ia juga berharap ada program beasiswa khusus bagi pendamping desa yang ingin melanjutkan studi, agar mereka bisa meningkatkan kualitas diri tanpa harus terbebani masalah biaya. “Kalau pendamping desa lebih cerdas, desa-desa yang kita dampingi juga akan lebih maju. Jadi, investasi pada pendidikan kami adalah investasi jangka panjang untuk pembangunan desa,” tegasnya.

Akhir yang Menginspirasi

Setelah bertahun-tahun berjuang, Agus akhirnya menyelesaikan studi doktoralnya. Gelar yang ia raih bukanlah simbol kesuksesan pribadi semata, melainkan juga pencapaian besar bagi komunitas yang ia dampingi. Meski perjalanan hidupnya penuh liku dan pengorbanan, Agus percaya bahwa semua itu layak diperjuangkan.

Raungan sepeda motor Supra X itu masih terdengar setiap pagi di Desa Ranggagata, namun kini dengan beban yang sedikit lebih ringan. Agus telah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan tantangan yang harus dihadapi dengan tekad baja dan semangat yang tak kenal padam.

Bagi rekan-rekan PLD, kisah Agus menjadi teladan bahwa perjuangan tak pernah sia-sia. Bagi pemerintah, terutama Kementerian Desa, kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap desa yang maju, ada pendamping yang gigih berjuang meski di tengah segala keterbatasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun