Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Beryn, lahir di Pulau Seribu Masjid, saat ini mengabdi pada desa sebagai TPP BPSDM Kementerian Desa dengan posisi sebagai TAPM Kabupaten. Sebelumnya, ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Beryn memiliki minat pada isu sosial, budaya, dan filsafat Islam. Saat kuliah, Beryn pernah mencoba berbagai aktivitas umumnya seperti berorganisasi, bermain musik, hingga mendaki gunung, meskipun begitu satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya adalah menikmati secangkir kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cahaya di Lingkar Kabut (7)

22 Oktober 2024   11:48 Diperbarui: 22 Oktober 2024   12:03 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

----Sebelumnya Cahaya di Lingkar Kabut Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4 | Bagian 5 | Bagian 6

Setelah pertemuan itu, Hendra tak bisa berhenti memikirkan perkataan Arman. Apakah benar saksi kunci itu sudah tak ada? Apa yang dimaksud Arman dengan 'hilang'? Apakah ini berarti rencananya untuk membuktikan ketidakbersalahannya akan hancur di tengah jalan?

Malamnya, saat berada di lapas, Burhan menghampiri Hendra. Melihat kegelisahan di wajah temannya, Burhan bertanya, "Ada apa, Ndra? Kau kelihatan nggak tenang."

Hendra menceritakan pertemuannya dengan Arman, tentang ancaman yang baru saja ia dengar. Burhan mendengarkan dengan saksama, lalu merenung sejenak. "Kalau Arman sudah ngomong begitu, berarti dia sudah menyiapkan sesuatu yang besar."

"Dan aku harus menghadapinya," Hendra berbisik, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Burhan.

"Aku bisa bantu," kata Burhan tiba-tiba.

Hendra menoleh dengan tatapan penuh harap. "Apa maksudmu?"

Burhan menatap Hendra serius. "Aku punya orang-orang di luar, orang yang bisa mencari tahu apa yang terjadi dengan saksi kunci itu. Aku juga bisa coba bawa beberapa info ke sini, kau tahu aku punya cara. Tapi ada risikonya, Ndra. Arman bukan orang sembarangan. Kalau dia tahu kita bergerak, dia nggak bakal diam saja."

Hendra terdiam, berusaha menimbang-nimbang opsi yang ada. Setiap langkah yang diambil penuh dengan risiko. Tapi sekarang, dia sudah terlalu jauh untuk mundur.

"Aku siap," kata Hendra akhirnya. "Apa pun risikonya, aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Burhan mengangguk pelan, lalu berbisik, "Oke. Aku akan atur semuanya."

Beberapa hari berlalu, dan Burhan kembali membawa berita. Namun, wajahnya yang biasanya penuh senyuman tampak lebih serius. "Ndra, ini nggak bagus," katanya saat mereka bertemu di lapangan. "Saksi itu memang hilang. Beberapa orang bilang dia telah dibungkam. Tapi aku nggak bisa memastikan apakah itu benar."

Dunia Hendra serasa runtuh mendengar kata-kata itu. Jika saksi kunci itu benar-benar hilang, bagaimana nasib peninjauan kembali yang selama ini ia gantungkan harapannya?

Sementara itu, kabar dari luar semakin memburuk. Pengacaranya mengirimkan pesan bahwa ada kemungkinan besar kasusnya akan kembali digelar tanpa kehadiran saksi tersebut. "Ini bisa jadi masalah besar bagi kita, Hendra," pengacaranya memperingatkan melalui surat yang dikirim ke lapas. "Kita masih punya beberapa opsi, tapi tanpa saksi kunci, posisi kita semakin lemah."

Hendra tahu, perjuangannya belum selesai. Namun, dengan musuh yang bersembunyi dalam bayang-bayang dan ancaman yang terus menghantuinya, ia tak yakin berapa lama lagi ia bisa bertahan. Di balik jeruji besi, di mana kebenaran seolah terperangkap, Hendra tetap berusaha mencari celah---celah untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Tapi seiring berjalannya waktu, pertarungan ini tampak semakin tak seimbang.

Dalam keheningan malam, Hendra termenung. Ada rasa takut, harapan, dan kebingungan yang bercampur aduk. "Apakah aku akan bebas?" gumamnya dalam hati.

Namun, jawaban itu tak pernah datang.

-----

Beberapa minggu setelah pertemuan terakhir Hendra dengan pengacaranya, situasi mulai terasa semakin ganjil. Hendra merasa setiap langkahnya di penjara diawasi, dan kabar mengenai saksi kunci yang akan hadir di persidangannya mulai mengalir seperti api liar. Namun, alih-alih merasa lega, rasa was-was terus menyelimuti benaknya. Ada sesuatu yang tidak beres, lebih besar daripada sekadar rekayasa video atau korupsi Arman.

Sore itu, di lapangan Lapas, Hendra kembali bertemu Burhan. Dengan isyarat mata, Burhan mengajaknya ke sudut yang lebih sepi. Mereka berdua duduk di bawah bayang-bayang tembok penjara, tempat di mana tak ada mata-mata yang bisa menguping percakapan mereka.

"Ada yang harus kau tahu," bisik Burhan pelan, suaranya begitu rendah sampai Hendra harus memiringkan kepalanya untuk mendengar. "Aku mendengar kabar aneh dari luar."

"Apa itu?" tanya Hendra, matanya waspada.

Burhan melihat sekeliling, memastikan tak ada orang di dekat mereka, lalu berkata, "Saksi kunci yang akan muncul di persidanganmu, dia disembunyikan oleh orang-orang besar, Ndra. Bukan cuma Arman yang terlibat."

Hendra tertegun. "Maksudmu?"

"Ini lebih dari sekadar rekayasa video atau konspirasi kecil di level desa. Ada permainan lebih besar di sini," Burhan menatap Hendra tajam, seolah memberi isyarat bahwa yang ia katakan bukan main-main. "Para jenderal, menteri... mereka semua terlibat."

Hendra tak bisa berkata apa-apa. Bagaimana bisa masalah yang bermula dari tuduhan rekayasa kecil berkembang sebesar ini?

"Di desamu, ada sesuatu yang mereka incar, Ndra. Mereka sudah lama merencanakan ini. Desa dampinganmu itu bukan desa biasa. Di bawah tanahnya, terkubur cadangan mineral yang sangat berharga---emas, tembaga, dan mineral langka lainnya. Para penguasa itu tahu, jika kau terus mengedukasi warga desa, mereka akan semakin sulit untuk menguasai tanah itu."

Pikiran Hendra seakan melayang. Mineral? Emas? Tembaga? Ia tak pernah menduga, desa kecil yang selama ini ia dampingi, desa yang tampak damai dan tak menonjol, ternyata menyimpan rahasia besar. Tidak heran, segala cara digunakan untuk menjatuhkannya.

Burhan melanjutkan, "Orang-orang di level atas itu tidak mau penduduk desa jadi cerdas. Jika mereka tahu potensi tanah mereka sendiri, akan sulit bagi mereka untuk dieksploitasi. Itu sebabnya mereka memanipulasi Arman, memaksanya untuk memfitnahmu. Kasus video itu hanyalah puncak gunung es. Mereka tidak peduli kau bersalah atau tidak. Yang mereka inginkan hanyalah menyingkirkanmu."

Hendra merasa sesak. Ini lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Bukan hanya Arman yang menjadi lawannya, tapi juga kekuatan-kekuatan besar yang tak terlihat---orang-orang berpengaruh yang siap menghancurkannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka.

"Saksi kunci itu... kenapa dia baru muncul sekarang?" tanya Hendra, mencoba merangkai kepingan-kepingan teka-teki yang baru saja ia dengar.

Burhan tersenyum getir. "Saksi itu selama ini disembunyikan. Dia tahu terlalu banyak. Kalau dia bicara di pengadilan, akan ada banyak rahasia yang terbongkar. Tapi mereka tidak bisa membiarkan dia hilang selamanya. Karena itu, mereka membiarkannya muncul sekarang, tapi dengan syarat. Mereka akan membuatnya bicara, tapi hanya sesuai dengan narasi mereka."

"Maksudmu, dia akan berbohong lagi?"

"Bukan berbohong. Dia akan berkata benar, tapi setengah. Dia akan membenarkan sebagian tuduhan terhadapmu, tetapi tidak akan mengungkapkan konspirasi besar di balik semua ini."

Hendra merasa dunianya mulai runtuh. Semuanya terasa seperti jebakan yang semakin rapat mengepungnya. Bagaimana bisa dia melawan kekuatan sebesar itu? Para jenderal, menteri, dan aparat hukum yang bersekongkol? Burhan benar, ini bukan lagi tentang benar atau salah. Ini tentang kuasa dan kendali.

Tapi Hendra bukan orang yang mudah menyerah. "Ada cara untuk membuktikan kebenarannya," katanya, suaranya lirih tapi penuh tekad.

Burhan menatapnya, seolah tahu apa yang dipikirkan Hendra. "Kau ingin pakai metode yang diajarkan Zaki, ya?"

Hendra mengangguk. "Aku akan membuktikan kalau video itu palsu. Dengan bantuan saksi kunci atau tidak, kebenaran harus muncul."

Namun, di balik keyakinannya, Hendra tahu bahwa langkah ini penuh risiko. Sekarang dia bukan hanya menghadapi Arman, tetapi kekuatan yang jauh lebih besar. Dan kalaupun dia berhasil membuktikan bahwa video itu palsu, apakah dia benar-benar bisa mengungkap konspirasi di baliknya?

"Bagaimana kau akan melakukannya?" tanya Burhan, suaranya agak ragu.

"Handphone yang kau selundupkan... aku sudah menghubungi beberapa teman Zaki. Mereka sedang mempersiapkan bukti visual yang bisa mematahkan tuduhan itu. Kalau semua berjalan lancar, aku bisa mendapatkannya sebelum persidangan dimulai," jawab Hendra dengan tenang.

Namun, ada ketukan keras di pintu selnya beberapa saat kemudian. Seorang sipir masuk dan mengumumkan bahwa Hendra akan segera dipindahkan lagi---tanpa alasan jelas. Burhan menatap Hendra dengan cemas, mengetahui bahwa pemindahan ini tidak normal.

"Kau harus cepat, Ndra. Waktu kita sudah hampir habis," kata Burhan sebelum mereka berpisah.

---bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun