Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cahaya di Lingkar Kabut (4)

14 Oktober 2024   19:28 Diperbarui: 15 Oktober 2024   16:36 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-----Sebelumnya | Cahaya di Lingkar Kabut | Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3

Hendra memutuskan untuk menemui atasannya di kabupaten dan menjelaskan situasi sebenarnya. Ia berharap setidaknya di tingkat kabupaten, ada orang-orang yang masih percaya pada integritasnya. Namun, begitu ia memasuki sekretariat TA Kabupaten, suasana yang menyambutnya terasa dingin. Orang-orang yang biasa menyapanya dengan senyum ramah kini memalingkan wajah atau hanya memberi anggukan dingin.

Saat ia duduk di depan atasannya, suasana semakin berat. Hendra mencoba menjelaskan bahwa semua tuduhan itu adalah rekayasa, namun respons yang ia dapatkan hanyalah kebisuan. Mata atasannya tampak sayu, seolah sudah terpengaruh oleh narasi yang beredar.

“Hendra, ini kasus serius,” ujar atasannya pelan. “Saya telah melihat video itu, dan banyak pihak yang kini mempertanyakan kredibilitasmu. Saya pribadi ingin percaya bahwa kamu tak bersalah, tapi... bukti-bukti ini sangat sulit untuk diabaikan.”

“Pak, itu semua bohong. Rekaman itu jelas-jelas direkayasa,” kata Hendra tegas, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa kata-katanya mungkin tak cukup kuat untuk melawan semua fitnah ini.

Atasannya menghela napas panjang, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Namun, saya harap kamu siap dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Saya akan melakukan yang terbaik untuk memastikan penyelidikan ini berjalan adil.”

Hendra mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa semakin terpuruk. Ia tahu bahwa keadilan dalam sistem ini bukanlah hal yang mudah diraih, apalagi jika dihadapkan pada kekuasaan gelap yang dijalankan oleh Arman dan para sekongkolnya.

-----

Ketika Hendra keluar dari sekretariat TA Kabupaten, langkahnya terasa berat. Di kejauhan, Arman berdiri di depan sebuah warung kopi bersama beberapa perangkat desa dan oknum polisi. Mereka tertawa pelan, seolah menikmati penderitaan Hendra dari kejauhan. Tatapan Arman penuh kebencian dan kemenangan.

“Permainan baru saja dimulai,” gumam Arman dengan senyum sinis di wajahnya. “Lihat saja, Hendra. Kau tak akan bisa lepas dari ini.”

Hendra merasakan angin dingin berhembus, membawa rasa gentar di dadanya. Ia tahu bahwa badai belum berakhir—bahkan mungkin yang terburuk belum datang.

-----

Hendra merasakan sepinya malam di balik jeruji besi. Langit yang dulu begitu luas terasa semakin sempit di dalam penjara, tempat ia kini terkurung oleh fitnah keji yang menjatuhkannya. Karirnya sebagai pendampingnya desa, yang ia bangun dengan penuh dedikasi dan pengabdian, lenyap dalam sekejap. Tuduhan palsu itu telah menghancurkan segalanya. Meskipun banyak yang tahu bahwa Hendra adalah seorang pekerja keras dengan prestasi luar biasa, pepatah lama nila setitik merusak susu sebelanga menjadi nasibnya kini.

Di penjara, Hendra berjuang dengan pikiran yang penuh beban. Bukan hanya rasa malu dan kecewa, tetapi juga keputusasaan atas masa depan yang kini tampak suram. Setiap hari ia menatap langit dari balik jeruji, berharap ada secercah keajaiban yang bisa membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. Namun, harapan itu terasa semakin jauh.

Pada suatu hari, ketika berada di lapangan penjara untuk waktu olahraga, Hendra bertemu dengan seorang pria bernama Zaki. Sosok yang tenang dan berwawasan luas ini dikenal sebagai seorang ahli digital forensik sebelum terjerat kasus yang membuatnya harus mendekam di balik jeruji. Zaki dituduh terlibat dalam kasus manipulasi data digital, tetapi hingga kini ia tetap mengklaim bahwa ia dijebak. Meski demikian, Zaki adalah sosok yang penuh pengetahuan, dan di penjara itu, ia menemukan banyak teman, termasuk Hendra.

Setiap kali mereka diberi waktu berkumpul di lapangan, Hendra dan Zaki sering duduk bersama, berbincang tentang banyak hal. Perlahan-lahan, Hendra mulai membuka diri, menceritakan bagaimana hidupnya hancur oleh sebuah rekaman video yang jelas-jelas merupakan hasil rekayasa. Zaki mendengarkan dengan seksama, dan dari situ, obrolan mereka mulai merambah ke hal-hal yang lebih mendalam tentang teknologi digital.

Zaki menatap Hendra dengan pandangan penuh empati. “Video rekayasa bisa dibuat dengan teknik-teknik tertentu, dan sayangnya, orang awam sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu,” katanya sambil menatap jauh. “Namun, ada cara-cara untuk membuktikan kebenarannya, hanya saja, kau butuh orang yang paham betul untuk meneliti bukti-buktinya.”

Hendra terdiam sesaat, mencoba mencerna ucapan Zaki. “Kau bilang ada cara untuk membuktikan kalau video itu palsu?” tanyanya pelan.

Zaki mengangguk. “Ya, dengan teknik digital forensik, kita bisa memeriksa setiap frame, setiap metadata yang ada di dalamnya. Jika ada manipulasi, kita bisa temukan polanya. Wajah bisa dipalsukan, suara bisa disunting, tapi ada detail kecil yang sering terlewat oleh para pelaku rekayasa. Jika kau bisa mendapatkan file asli dari video itu, mungkin ada harapan.”

Percakapan itu terus berlanjut. Zaki mulai mengajari Hendra berbagai hal tentang cara memvalidasi keaslian sebuah video. Bagaimana mendeteksi adanya deepfake, bagaimana memeriksa metadata yang disematkan pada file video, hingga cara menganalisis bayangan dan pencahayaan yang seringkali menjadi petunjuk paling jelas dari video palsu. Meskipun Hendra tidak memiliki latar belakang di bidang teknologi, ia menyerap semua informasi itu dengan penuh semangat. Di dalam penjara, hal itu seolah menjadi satu-satunya harapan yang bisa ia genggam.

Namun, kendala terbesar Hendra adalah akses. Di dalam penjara, ia tak bisa mendapatkan video asli itu. Apalagi dengan posisinya yang telah dipecat sebagai pendamping desa, akses terhadap bukti-bukti penting semakin sulit ia dapatkan. Tapi ia tahu, di luar sana, masih ada orang-orang yang percaya padanya.

-----

Waktu berjalan. Hendra terus mengasah kemampuan yang diajarkan oleh Zaki. Setiap kali mereka bertemu, selalu ada hal baru yang dipelajarinya. Dari perbincangan kecil di lapangan penjara, Hendra perlahan-lahan memahami bagaimana dunia digital dapat begitu mudah dimanipulasi. Sebuah video yang tampak nyata di mata banyak orang bisa jadi hanyalah ilusi belaka.

Suatu sore, Zaki memandang Hendra dengan serius. “Jika kau bisa membuktikan bahwa video itu palsu, kau bisa membersihkan namamu, Hendra. Tapi ingat, mereka yang menjebakmu mungkin tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan melawan habis-habisan.”

Hendra hanya bisa mengangguk. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perlawanan ini tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa inilah satu-satunya kesempatan untuk mengungkap kebenaran. Setiap malam, Hendra memikirkan langkah-langkah yang harus diambil begitu ia bebas nanti.

Namun, tak lama setelah percakapan itu, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Seorang petugas penjara mendatangi Hendra dengan wajah tegang. “Hendra, ada surat panggilan untukmu. Besok kau akan dipindahkan ke lapas lain,” kata petugas itu dengan nada dingin.

Hendra terkejut. “Dipindahkan? Kenapa tiba-tiba?”

Kalau rame like, komen, dan share, akan dilanjut ceritanya...

---Bersambung | Cahaya di Lingkar Kabut Bagian 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun