Namun, dunia tidak selalu berjalan sesuai harapan orang yang berbuat benar. Setelah ditahan selama beberapa minggu, Arman secara mengejutkan dibebaskan. Banyak orang yang terkejut---dan geram---mendengar kabar itu. Rumor beredar bahwa Arman memiliki koneksi kuat di pemerintahan daerah, seseorang yang dengan mudahnya bisa memutarbalikkan hukum demi melindungi kepentingannya.
Hendra tahu, kebenaran yang ia harapkan sering kali tersandung pada jaring-jaring kekuasaan yang korup. Arman, yang seharusnya dipecat dan diseret ke pengadilan, kembali bekerja dengan wajah dingin dan mata penuh amarah. Pemecatannya dibatalkan. Bahkan, kabar pembebasannya tampak seperti sebuah perayaan kecil di kalangan oknum yang selama ini mendukungnya secara diam-diam.
Sejak Arman kembali ke jabatannya, suasana di sekretariat kecamatan menjadi semakin tegang. Kebencian Arman terhadap Hendra semakin mendalam. Setiap kali mereka bertemu dalam rapat atau pertemuan, tatapan Arman menyiratkan kebencian yang tak terkatakan, seolah-olah dia menaruh segala kesalahan dan kegagalannya pada Hendra. Meski tak ada kata yang terucap, Hendra bisa merasakan bahwa Arman sedang merencanakan sesuatu---sesuatu yang mungkin lebih buruk daripada sebelumnya.
"Jangan pernah berpikir kau akan aman," gumam Arman dalam hatinya suatu malam, saat dia duduk sendirian di sekretariatnya. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang dingin, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Aku akan memastikan kau jatuh, Hendra. Sekali lagi, tapi kali ini... kau tak akan bisa bangkit."
-----
Hendra semakin sering mendapat laporan-laporan palsu tentang kinerjanya. Setiap laporan yang masuk selalu diwarnai dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar---tentang kurangnya koordinasi, buruknya komunikasi, hingga dugaan bahwa Hendra tidak melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan pembangunan desa. Namun, Hendra tetap tenang. Ia sudah terbiasa dengan permainan licik seperti ini. Baginya, kebenaran tidak perlu dipertahankan dengan amarah. Tugasnya adalah terus bekerja dengan sepenuh hati, karena ia percaya masyarakat dan desa-desa yang ia dampingi lebih memahami siapa dia sesungguhnya.
Tapi, kali ini Arman tampak lebih cerdas. Dia tak hanya menggunakan laporan-laporan palsu, tetapi juga mulai merangkul beberapa orang di kecamatan untuk mempercayai narasi-narasi yang ia sebarkan.Â
Satu per satu, rekan-rekan Hendra mulai ragu padanya. Beberapa di antaranya, yang dulu mendukungnya, mulai menjaga jarak. Arman tahu bahwa permainan ini adalah soal waktu, soal menguras energi Hendra sampai ia menyerah dengan sendirinya.
-----
Suatu sore, Hendra mendapat undangan untuk menghadiri sebuah pertemuan penting di kecamatan. Pertemuan itu disebut-sebut sebagai evaluasi besar terhadap semua pendamping desa di wilayah tersebut. Hendra hadir dengan tenang, meski ada firasat aneh yang menyelimuti pikirannya.
Ruang rapat penuh sesak dengan para pendamping desa, pegawai kecamatan, dan beberapa TA Kabupaten. Di ujung ruangan, duduk Arman dengan senyum yang tersirat di bibirnya, seolah-olah ia sedang menunggu momen yang telah ia rencanakan dengan matang.