Perencanaan pembangunan desa selalu menjadi tantangan tersendiri, terutama di wilayah yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam seperti Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan hadirnya Peraturan Gubernur (Pergub) NTB Nomor 83 Tahun 2023 (Pergub 83/2023) tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa Berbasis Pengurangan Risiko Bencana, pemerintah daerah NTB menunjukkan komitmennya memberikan arah yang lebih jelas dan sistematis dalam menanggulangi dampak bencana alam di desa-desa.Â
Pergub ini hadir pada saat yang tepat, mengingat revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang baru saja disahkan dan diundangkan dengan perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi delapan tahun melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024.
Perubahan regulasi ini memberikan kesempatan bagi kepala desa merumuskan rencana pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif, khususnya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Tulisan ini akan mengulas bagaimana optimalisasi peran Pergub 83/2023 dapat berkontribusi dalam proses perubahan RPJM Desa, terutama dalam konteks perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Dengan adanya perubahan dalam UU Nomor 3 Tahun 2024, kepala desa kini memiliki masa jabatan delapan tahun, dua tahun lebih lama dibandingkan masa jabatan sebelumnya.Â
Perpanjangan ini mesti dimanfaatkan sebagai momentum penting menata ulang prioritas pembangunan desa. Hal ini relevan terutama dalam konteks pembangunan desa berbasis pengurangan risiko bencana.
NTB, sebagai daerah yang rentan terhadap berbagai jenis bencana, membutuhkan perencanaan matang di level desa. Karenanya, perpanjangan masa jabatan kepala desa memberi kesempatan lebih bagi mereka mengimplementasikan rencana sesuai dengan arah Pergub 83/2023, serta melakukan review terhadap RPJM Desa secara lebih optimal.
Pergub 83/2023 merupakan langkah maju dalam mendukung upaya pengurangan risiko bencana (PRB) di tingkat desa. Pergub ini memberikan pedoman bagi desa mengintegrasikan langkah-langkah mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana dalam proses perencanaan pembangunan desa. Dalam implementasinya, pergub ini telah dilaksanakan di 107 desa di Lombok dengan rincian 27 desa di Lombok Barat, 10 desa di Lombok Tengah, 27 desa di Lombok Timur, dan seluruh desa di Lombok Utara (SIAGA NTB, 2024).
Pentingnya pergub ini selain terletak pada arahan teknisnya, juga pada perubahan paradigma yang diusungnya, yaitu bagaimana desa-desa di NTB lebih siap dan tanggap menghadapi ancaman bencana.Â
Desa kini tidak hanya fokus pada pembangunan fisik dan infrastruktur semata, tetapi juga pada penciptaan ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Perubahan ini memerlukan komitmen yang kuat dari kepala desa, terutama dengan masa jabatan yang lebih panjang, untuk memastikan rencana yang telah disusun dalam RPJM Desa dapat dieksekusi secara konsisten dan tepat sasaran.
Salah satu implikasi penting dari UU 3/2024 adalah perlunya melakukan perubahan terhadap RPJM Desa yang sudah ada. RPJM Desa merupakan dokumen acuan dalam pelaksanaan pembangunan desa selama enam tahun (sebelumnya).Â
Dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun, RPJM Desa juga perlu diperbarui untuk mencakup dua tahun tambahan masa jabatan tersebut. Proses perubahan ini memberikan kesempatan emas bagi desa memperkuat integrasi aspek pengurangan risiko bencana ke dalam rencana pembangunan jangka menengah mereka.
Dalam konteks ini, Pergub 83/2023 menjadi rujukan penting memandu desa menambahkan elemen-elemen yang diperlukan, seperti (1) identifikasi risiko bencana di wilayah desa, (2) perencanaan mitigasi yang berkelanjutan, termasuk pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, (3) peningkatan kapasitas masyarakat menghadapi bencana melalui pelatihan dan simulasi, dan (4) kolaborasi dengan berbagai pihak seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan lembaga terkait lainnya.
Pelaksanaan Pergub 83/2023 di 107 desa di Lombok menunjukkan komitmen kuat pemerintah daerah dan masyarakat desa menghadapi tantangan bencana. Desa-desa di Lombok Utara, misalnya, yang berada di kawasan rentan gempa, sudah mulai mengintegrasikan langkah-langkah mitigasi ke dalam pembangunan infrastruktur mereka.
 Di Lombok Barat dan Lombok Timur, beberapa desa telah memprioritaskan pembangunan tanggul penahan banjir serta penguatan tanah longsor.
Namun, tantangan masih tetap ada. Salah satu tantangan terbesar adalah kesiapan sumber daya manusia di tingkat desa. Meskipun Pergub ini memberikan pedoman yang jelas, pelaksanaannya di lapangan masih membutuhkan pendampingan dan sosialisasi yang lebih intensif.Â
Kepala desa, dengan masa jabatan yang lebih panjang, diharapkan berperan lebih aktif memimpin proses ini, namun mereka juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun lembaga non-pemerintah yang memiliki keahlian dalam pengurangan risiko bencana.
Peluang lain yang muncul adalah penguatan kelembagaan desa. Dengan adanya regulasi yang memperpanjang masa jabatan kepala desa, desa memiliki kesempatan membangun sistem yang lebih mapan dalam hal pengelolaan risiko bencana.Â
Lembaga desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa lainnya mesti dilibatkan secara aktif dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi. Partisipasi masyarakat juga perlu ditingkatkan agar upaya pengurangan risiko bencana benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Selain fokus pada level desa, Pergub 83/2023 juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu sinergi dengan RPJM Provinsi NTB dan RPJM Nasional, sebab pengurangan risiko bencana bukan hanya tanggung jawab desa semata, tetapi juga menjadi bagian dari upaya kolektif di tingkat regional dan nasional.Â
Integrasi kebijakan antara RPJM Desa dengan RPJM Provinsi dan Nasional dapat memperkuat efektivitas pelaksanaan pengurangan risiko bencana.
NTB, sebagai wilayah dengan risiko bencana yang tinggi, juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pusat dalam hal alokasi dana untuk pengurangan risiko bencana.
Desa-desa yang telah melaksanakan Pergub 83/2023 misalnya, memiliki peluang mendapatkan dukungan tambahan dari pemerintah provinsi maupun nasional. Karenanya, sinergi antara berbagai tingkat pemerintahan sangat penting memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi yang direncanakan terwujud dengan baik.
Sebagai simpulan, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun memberikan peluang besar bagi desa melaksanakan pembangunan yang lebih berkelanjutan dan terencana.
 Pergub 83/2023 menjadi instrumen penting memastikan bahwa desa-desa di NTB, khususnya yang berada di wilayah rawan bencana, mampu merumuskan rencana pembangunan yang responsif terhadap risiko bencana.
Kepala desa, dengan masa jabatan yang lebih panjang, memiliki tanggung jawab besar guna memastikan bahwa RPJM Desa mereka mencerminkan komitmen terhadap pengurangan risiko bencana.Â
Proses perubahan RPJM Desa yang disertai dengan integrasi pedoman dari Pergub ini harus menjadi prioritas, tidak hanya sebagai kewajiban administratif, tetapi sebagai langkah konkret menciptakan desa yang lebih tangguh dan siap menghadapi bencana.
Sinergi antara desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap langkah mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana berjalan secara efektif dan berkesinambungan.Â
Dengan demikian, desa-desa di NTB tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang di tengah tantangan bencana yang mungkin datang di masa depan.(*)
*Dr. Sabirin, M.Si (TAPM Kabupaten Lombok Tengah/Anggota Tim Penyusun Pergub 83)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H