“Pelungguhde tahu,” lanjut tuan guru itu, “Kadang jamaah meminta tiyang menikahi putri mereka karena mereka ingin keluarganya punya garis keturunan ulama. Mereka percaya bahwa dengan cara itu, anak cucu mereka akan lebih diberkahi ilmu agama. Tapi tiyang selalu bilang, tiyang hanya manusia biasa. Tiyang bukan malaikat yang bisa menjamin kebahagiaan atau keberkahan.”
Obrolan kami semakin dalam. Ternyata, di balik romantisme dan humor yang sering menyelimuti topik poligami, ada banyak aspek yang jarang dibicarakan secara serius. Banyak dari para tuan guru yang memilih poligami bukan karena nafsu atau keseruan semata, tetapi karena permintaan jamaah yang sering kali berharap besar terhadap patronnya.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kisah-kisah seru dari mereka yang telah menjalani poligami tetap menjadi favorit. Seorang tuan guru yang lebih muda, dengan tawa kecil, menceritakan pengalamannya ketika hendak meminta izin kepada istri pertama untuk menikah lagi.
“Awalnya, tiyang pikir ini bakal mudah,” katanya sambil tertawa. “Tapi ketika tiyang sampaikan niat tiyang menikah lagi, wajah istri saya langsung berubah. Tiyang langsung tahu, ini bukan obrolan yang bisa diselesaikan hanya dengan satu kali bicara.”
Tentu saja, cerita itu diiringi dengan tawa dari kami yang mendengarnya. Namun, di balik tawa tersebut, semua paham betul bahwa hal semacam itu memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sekarang, aturan administrasi pernikahan mengharuskan adanya persetujuan tertulis dari istri pertama untuk menikah lagi. Itu artinya, mereka yang ingin berpoligami di era modern ini harus menghadapi tantangan hukum dan sosial yang semakin kompleks.
“Sekarang, bukan cuma istri pertama yang harus setuju,” sambung tuan guru yang lebih muda tadi, “Pengadilan juga harus yakin bahwa tiyang senamian mampu bersikap adil. Jadi, bagi yang tidak benar-benar siap, lebih baik pikir-pikir dulu.”
Semua mengangguk setuju. Seiring dengan perkembangan zaman, poligami tidak lagi semata-mata tentang keputusan pribadi atau kehendak keluarga besar. Ada dimensi hukum dan keadilan yang harus diperhatikan dengan lebih seksama.
Di akhir diskusi, seorang tuan guru yang biasanya selama ini hanya mendengarkan akhirnya angkat bicara. “Poligami memang sering jadi topik yang menarik. Tapi setelah mendengar cerita-cerita tadi, tiyang semakin yakin bahwa ini bukan hanya soal keinginan atau cerita seru. Ini adalah soal tanggung jawab, keadilan, dan bagaimana tiyang senamian menjaga perasaan orang-orang yang kita cintai.”
Kami semua terdiam, merenungkan apa yang baru saja disampaikan. Poligami, bagi sebagian orang, mungkin masih menjadi sumber cerita seru atau candaan, tapi bagi mereka yang benar-benar menjalankannya, ini adalah kehidupan nyata dengan segala konsekuensinya. Dan bagi para tuan guru, poligami bukan hanya soal memenuhi harapan jamaah atau keluarga, melainkan juga tentang bagaimana mereka menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab.
Maka, meski diskusi tentang poligami sering kali diwarnai dengan tawa dan cerita lucu, kami semua tahu bahwa di balik itu ada pelajaran berharga yang harus dipahami: poligami bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh, bahkan oleh mereka yang telah lama terbiasa dengan tradisi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H