Setiap kali berkumpul bersama para tuan guru, ustadz, atau teman sebaya, obrolan sering kali mengarah pada topik yang bisa dibilang klise, namun selalu menarik: poligami.
Entah bagaimana caranya, tema ini selalu muncul di tengah-tengah diskusi dan obrolan santai, seakan tema ini memiliki magnet dan daya tarik tersendiri mengalahkan tema “seru” lainnya. Namun yang lebih mengejutkan, ternyata cerita-cerita dari mereka yang telah mempraktekkan poligami kerap menjadi bagian yang paling dinanti, terutama kisah-kisah lucu yang mengundang tawa lepas, meski di balik itu semua terselip nuansa serius dan cita-cita terpendam.
Seperti suatu sore, di sebuah berugak (gazebo) sederhana di salah satu pesantren, kami berkumpul dalam suasana yang akrab. Obrolan santai ini awalnya berkisar tentang banyak hal—dari perkembangan pesantren hingga isu sosial, ekonomi, dan politik terkini. Namun, tak butuh waktu lama sebelum poligami menjadi bumbu utama diskusi. Seorang tuan guru yang dikenal karena kepiawaiannya bercerita, tiba-tiba menyinggung pengalaman salah seorang temannya yang menjalani poligami.
“Ah, ada satu cerita seru dari kawan kita ini,” ujarnya sambil menunjuk seorang tuan guru yang duduk di sebelahnya. Sang tuan guru yang sudah memiliki dua istri hanya tersenyum simpul, seakan-akan ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian ketika topik poligami mulai diangkat.
“Apa yang terjadi?” tanya salah seorang dari kami, penasaran. Dengan nada bercanda, tuan guru tadi melanjutkan ceritanya.
“Niki, tuan guru kita ini punya dua istri, satu di rumah sebelah timur, satunya lagi di rumah sebelah barat. Suatu hari, dia lupa pulang ke istri yang mana. Pagi-pagi, dia baru sadar setelah mendengar suara yang berbeda saat istrinya memanggil untuk nyampah (sarapan).”
Sontak, seluruh isi berugak riuh tertawa. Meski cerita itu disampaikan dengan nada ringan, tersirat sebuah ironi dalam kehidupan sehari-hari mereka yang mempraktikkan poligami. Tawa tadi perlahan mereda, tetapi diskusi terus berlanjut.
Bukan hanya cerita-cerita lucu seperti itu yang muncul. Ada juga kisah-kisah serius yang seringkali membuat kami merenung. Salah seorang tuan guru lainnya berbicara dengan nada yang lebih bijak, menjelaskan bagaimana sebenarnya poligami adalah tanggung jawab besar, dan tidak semua orang mampu memikulnya dengan baik.
“Poligami itu berat,” katanya tegas. “Kalau hanya karena keinginan sesaat, lebih baik jangan, ndaq bae. Karena pada akhirnya, yang dituntut adalah keadilan. Tidak hanya dari segi materi, tapi juga hati dan perhatian.”
Kalimat itu membuat kami semua terdiam sejenak. Rupanya, poligami bukan sekadar cerita seru atau candaan belaka, tapi ada beban moral yang besar yang harus diemban. Bagi para tuan guru, yang sering kali diminta menikahi lebih dari satu perempuan oleh jamaah atau keluarga yang menginginkan keturunan yang ‘alim, keputusan ini tidak pernah mudah.
“Pelungguhde tahu,” lanjut tuan guru itu, “Kadang jamaah meminta tiyang menikahi putri mereka karena mereka ingin keluarganya punya garis keturunan ulama. Mereka percaya bahwa dengan cara itu, anak cucu mereka akan lebih diberkahi ilmu agama. Tapi tiyang selalu bilang, tiyang hanya manusia biasa. Tiyang bukan malaikat yang bisa menjamin kebahagiaan atau keberkahan.”
Obrolan kami semakin dalam. Ternyata, di balik romantisme dan humor yang sering menyelimuti topik poligami, ada banyak aspek yang jarang dibicarakan secara serius. Banyak dari para tuan guru yang memilih poligami bukan karena nafsu atau keseruan semata, tetapi karena permintaan jamaah yang sering kali berharap besar terhadap patronnya.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kisah-kisah seru dari mereka yang telah menjalani poligami tetap menjadi favorit. Seorang tuan guru yang lebih muda, dengan tawa kecil, menceritakan pengalamannya ketika hendak meminta izin kepada istri pertama untuk menikah lagi.
“Awalnya, tiyang pikir ini bakal mudah,” katanya sambil tertawa. “Tapi ketika tiyang sampaikan niat tiyang menikah lagi, wajah istri saya langsung berubah. Tiyang langsung tahu, ini bukan obrolan yang bisa diselesaikan hanya dengan satu kali bicara.”
Tentu saja, cerita itu diiringi dengan tawa dari kami yang mendengarnya. Namun, di balik tawa tersebut, semua paham betul bahwa hal semacam itu memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sekarang, aturan administrasi pernikahan mengharuskan adanya persetujuan tertulis dari istri pertama untuk menikah lagi. Itu artinya, mereka yang ingin berpoligami di era modern ini harus menghadapi tantangan hukum dan sosial yang semakin kompleks.
“Sekarang, bukan cuma istri pertama yang harus setuju,” sambung tuan guru yang lebih muda tadi, “Pengadilan juga harus yakin bahwa tiyang senamian mampu bersikap adil. Jadi, bagi yang tidak benar-benar siap, lebih baik pikir-pikir dulu.”
Semua mengangguk setuju. Seiring dengan perkembangan zaman, poligami tidak lagi semata-mata tentang keputusan pribadi atau kehendak keluarga besar. Ada dimensi hukum dan keadilan yang harus diperhatikan dengan lebih seksama.
Di akhir diskusi, seorang tuan guru yang biasanya selama ini hanya mendengarkan akhirnya angkat bicara. “Poligami memang sering jadi topik yang menarik. Tapi setelah mendengar cerita-cerita tadi, tiyang semakin yakin bahwa ini bukan hanya soal keinginan atau cerita seru. Ini adalah soal tanggung jawab, keadilan, dan bagaimana tiyang senamian menjaga perasaan orang-orang yang kita cintai.”
Kami semua terdiam, merenungkan apa yang baru saja disampaikan. Poligami, bagi sebagian orang, mungkin masih menjadi sumber cerita seru atau candaan, tapi bagi mereka yang benar-benar menjalankannya, ini adalah kehidupan nyata dengan segala konsekuensinya. Dan bagi para tuan guru, poligami bukan hanya soal memenuhi harapan jamaah atau keluarga, melainkan juga tentang bagaimana mereka menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab.
Maka, meski diskusi tentang poligami sering kali diwarnai dengan tawa dan cerita lucu, kami semua tahu bahwa di balik itu ada pelajaran berharga yang harus dipahami: poligami bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh, bahkan oleh mereka yang telah lama terbiasa dengan tradisi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H