Tanah di sekitar mereka mulai bergetar, retak, dan dunia yang tadinya tenang dan damai mulai hancur. Pepohonan yang tadinya berdiri megah satu per satu tumbang, angin yang dulu sejuk kini berhembus dingin dan kencang, seolah ingin menelan segalanya.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu!" seru Rangga, mencoba meraih tangan Senja yang mulai memudar. "Kita bisa bersama, di sini. Kita bisa bahagia."
Senja tersenyum lembut di tengah air matanya. "Rangga, aku hanyalah bagian dari mimpimu. Kau harus bangun. Dunia nyata menunggumu."
Air mata mulai mengalir di pipi Rangga. Semua perasaan yang ia pendam, semua kenangan yang ia bangun bersama Senja kini terasa seperti pasir yang perlahan tergelincir dari genggamannya. Ia ingin tetap di sini, bersamanya. Namun ia tahu, Senja benar. Dunia ini, seindah apa pun, hanyalah sebuah ilusi.
Dengan berat hati, Rangga menutup matanya, membiarkan dunia mimpi itu hancur perlahan di sekitarnya. Ia mendengar suara terakhir dari Senja, berbisik lembut, "Aku akan selalu ada di hatimu."
Ketika ia membuka matanya kembali, Rangga sudah terbangun di tempat tidurnya. Sinar matahari pagi menerobos jendela kamarnya, tetapi rasanya berbeda---dingin, jauh dari kehangatan yang ia rasakan bersama Senja. Tangannya masih terasa dingin, seolah baru saja melepaskan genggaman yang tak pernah benar-benar ada.
Di dalam hatinya, ada ruang kosong yang sulit dijelaskan. Kehidupan nyata kembali, tetapi cinta dan kehangatan yang ia rasakan bersama Senja kini menjadi kenangan yang perlahan memudar. Dan dengan air mata yang jatuh tanpa sadar, Rangga berbisik pelan, "Aku merindukanmu, Senja."
Tapi Senja hanyalah mimpi---seindah apa pun, itu tidak akan pernah bisa kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H