Mohon tunggu...
Imtiaz Habib L
Imtiaz Habib L Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student

Seorang Mahasiswa yang memiliki ketertarikan kepada Alam,Sejarah,Dunia,dan Masadepan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Help Me from Dreams?

6 Oktober 2024   22:36 Diperbarui: 7 Oktober 2024   01:31 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara gemerisik angin lembut berbisik di antara pepohonan, diselingi kicau burung yang seakan menyambut kedatangan pagi. Langit biru cerah memayungi hamparan padang rumput yang hijau dan seolah tiada batas. 

Matahari, tak terlalu terik, sinarnya meresap hangat ke dalam kulit, menyapa lembut seolah mengundang Rangga untuk menikmati hari yang sempurna.

Rangga menghirup udara segar dalam-dalam, merasakan setiap aroma tanah basah, rerumputan yang dipenuhi embun, dan keharuman bunga-bunga liar yang mekar di sekitarnya. Dalam pikirannya, tidak ada tempat yang lebih indah dan damai dari ini. Setiap langkahnya terasa ringan, seperti bumi ini dirancang khusus untuk menenangkan jiwanya.

Di bawah pohon besar yang berdiri megah di tepi danau, dia melihat sosok perempuan tengah duduk dengan kaki bersilang. Rambutnya hitam, jatuh terurai hingga menyentuh bahunya, berkilauan di bawah sinar matahari. Senyumnya kecil, namun cukup untuk menggetarkan hati Rangga, seolah dia sudah menantinya sejak lama.

"Namaku Rangga," katanya, suara Rangga serak, namun terdengar lembut.

Perempuan itu menoleh, menatapnya dengan mata yang jernih dan dalam, seakan dia dapat melihat langsung ke dalam jiwa Rangga. "Aku Senja," ucapnya sambil tersenyum, suaranya sehalus angin yang berembus di antara pepohonan.

Hari-hari setelah pertemuan itu seperti terjalin dalam kebahagiaan yang tak pernah Rangga bayangkan. Ada sesuatu tentang Senja yang membuat dunia ini terasa lebih indah. Setiap sentuhannya membawa kehangatan, setiap tawanya seperti musik yang menenangkan pikiran Rangga. Mereka menghabiskan waktu bersama, tanpa batas waktu yang mengikat.

Di pagi hari, mereka berjalan menyusuri hutan, mendengar nyanyian alam yang menyatu dengan langkah mereka. Terkadang, Senja akan menarik tangan Rangga, membawanya melompat di antara bebatuan di sungai kecil yang jernih, airnya dingin menyentuh kaki mereka, tetapi selalu ada tawa di ujung perjalanan.

"Apa yang membuatmu selalu tersenyum?" tanya Rangga suatu sore saat mereka duduk di atas batu besar yang menghadap ke danau, kaki mereka tergelincir perlahan di permukaan air yang tenang.

Senja menoleh, memandangnya dengan tatapan lembut, lalu menyandarkan kepala di bahu Rangga. "Karena di sini, aku tidak perlu memikirkan apa pun selain bersamamu."

Jawaban itu membuat dada Rangga bergetar. Dia tahu di balik kata-kata Senja ada sesuatu yang lebih dalam---sesuatu yang tak ingin disentuhnya. Baginya, ini sudah cukup. Dunia ini, keindahan yang mereka rasakan bersama, cukuplah untuk membuatnya lupa akan segalanya.

Setiap malam, mereka tidur berdua di bawah bintang-bintang yang gemerlap di langit. Saat mereka terbaring di atas rerumputan, tangan Senja selalu mencari tangan Rangga, menggenggam erat, seolah memastikan bahwa mereka tidak akan pernah terpisah.

"Menurutmu, apakah ada tempat yang lebih indah dari ini?" tanya Senja pada suatu malam, suaranya seperti bisikan, melayang di udara yang sejuk.

Rangga tersenyum kecil. "Tidak, tidak ada. Tempat ini sempurna. Aku tidak ingin pergi ke mana pun."

Namun di balik senyum itu, sesuatu yang halus mulai mengusik pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan kecil muncul di sela-sela tawa dan kebahagiaan yang mereka ciptakan. Dari mana dia berasal? Mengapa dia merasa seperti berada di dalam kabut yang samar setiap kali mencoba mengingat kehidupannya yang dulu?

Tapi Rangga menolak untuk memikirkannya. Bersama Senja, semua perasaan ragu itu sirna, tergantikan oleh kebahagiaan yang tak ternilai. Mereka berlari di padang rumput, tertawa hingga mereka terjatuh, berguling di rerumputan dan saling menatap, seolah tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Setiap pelukan terasa seperti perlindungan dari dunia luar yang entah ada atau tidak.

Namun, seiring berjalannya waktu, keheningan yang mendalam mulai merayap masuk ke dalam dunia ini. Hutan yang tadinya hijau perlahan memudar, bunga-bunga liar yang dahulu bermekaran mulai layu tanpa alasan. Senja, yang biasanya penuh tawa, sekarang sering terdiam dalam perenungannya. Dan setiap kali Rangga memanggil namanya, dia hanya menjawab dengan senyum tipis yang sulit dimengerti.

Suatu hari, saat mereka sedang duduk di bawah pohon tempat mereka pertama kali bertemu, Senja mulai bicara dengan suara yang lebih dalam dari biasanya. "Rangga, kau tahu, bukan? Semua ini... hanyalah mimpi."

Rangga menoleh kaget. "Apa maksudmu?"

Senja menatapnya, matanya yang tadinya lembut kini seolah menyimpan kesedihan yang tak terucapkan. "Kita tidak bisa terus di sini. Dunia ini... tidak nyata."

Rangga menggelengkan kepala, mencoba menolak kenyataan yang mulai menghampirinya. "Tidak. Aku bahagia di sini, Senja. Kau bahagia. Mengapa kita harus pergi?"

Senja menarik napas panjang, matanya mulai dipenuhi air mata. "Karena meskipun ini terlihat sempurna, kau harus kembali ke duniamu. Kau tidak bisa terus di sini bersamaku."

Tanah di sekitar mereka mulai bergetar, retak, dan dunia yang tadinya tenang dan damai mulai hancur. Pepohonan yang tadinya berdiri megah satu per satu tumbang, angin yang dulu sejuk kini berhembus dingin dan kencang, seolah ingin menelan segalanya.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu!" seru Rangga, mencoba meraih tangan Senja yang mulai memudar. "Kita bisa bersama, di sini. Kita bisa bahagia."

Senja tersenyum lembut di tengah air matanya. "Rangga, aku hanyalah bagian dari mimpimu. Kau harus bangun. Dunia nyata menunggumu."

Air mata mulai mengalir di pipi Rangga. Semua perasaan yang ia pendam, semua kenangan yang ia bangun bersama Senja kini terasa seperti pasir yang perlahan tergelincir dari genggamannya. Ia ingin tetap di sini, bersamanya. Namun ia tahu, Senja benar. Dunia ini, seindah apa pun, hanyalah sebuah ilusi.

Dengan berat hati, Rangga menutup matanya, membiarkan dunia mimpi itu hancur perlahan di sekitarnya. Ia mendengar suara terakhir dari Senja, berbisik lembut, "Aku akan selalu ada di hatimu."

Ketika ia membuka matanya kembali, Rangga sudah terbangun di tempat tidurnya. Sinar matahari pagi menerobos jendela kamarnya, tetapi rasanya berbeda---dingin, jauh dari kehangatan yang ia rasakan bersama Senja. Tangannya masih terasa dingin, seolah baru saja melepaskan genggaman yang tak pernah benar-benar ada.

Di dalam hatinya, ada ruang kosong yang sulit dijelaskan. Kehidupan nyata kembali, tetapi cinta dan kehangatan yang ia rasakan bersama Senja kini menjadi kenangan yang perlahan memudar. Dan dengan air mata yang jatuh tanpa sadar, Rangga berbisik pelan, "Aku merindukanmu, Senja."

Tapi Senja hanyalah mimpi---seindah apa pun, itu tidak akan pernah bisa kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun