Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

M Ryaas Rasyid: “Betapa Konyol Meletakkan di Kabupaten/Kota, yang Saya Sendiri Menentangnya Dulu”

23 Februari 2012   02:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain memperjelas dan mempertegas tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Mendagri Otda) Muhammad Ryaas Rasyid mengusulkan agar Undang-Undang Pemerintahan Daerah menentukan titik berat otonomi di provinsi agar posisi otonomi kabupaten/kota di bawah otonomi provinsi. Titik berat otonomi di provinsi memudahkan konsolidasi sumberdaya, koordinasi pemerintahan, serta efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan.

“Solusinya adalah letakkan otonomi di provinsi. Betapa konyol meletakkan di kabupaten/kota, yang saya sendiri menentangnya dulu. Saya ngotot dulu,” ujarnya saat Perspektif Indonesia “Quo Vadis Peran Gubernur dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah” di Pressroom Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/5). Narasumber lainnya adalah guru besar ilmu administrasi negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bhenyamin Hoessein, anggota DPD asal DKI Jakarta Andi Mapetahang (AM) Fatwa, dan staf ahli bidang pemerintahan Gubernur Banten Kurdi Matin.

Mantan Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) ini menyatakan, “Sebenarnya saya mau meletakkan otonomi di provinsi tapi Amien Rais cs berkampanye federalisme waktu itu. Untuk menghindari kecurigaan saya menjadi agen Amien cs, saya tidak mau titik berat otonomi di provinsi. Meletakkan otonomi di provinsi mengarah ke federalisme. Itu alasannya, antara lain.”

“Tapi kampanye Amien cs disambut ramai di beberapa provinsi. Ada sambutan di kampus-kampus waktu itu bahwa federalisme adalah solusi. Waktu itu, kita memang mencari bentuk, tidak mungkin meneruskan sistem pemerintahan daerah Pak Harto (Soeharto) dalam UU 5/1974. Saya ketua tim pemerintah, di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saya jelaskan bahwa otonomi diletakkan di kabupaten/kota. Saya cari alasan macam-macam. Intinya, agar pelayanan lebih dekat kepada pihak yang dilayani. Tapi saya katakan, otonomi 10 tahun lagi kita review. Sekarang, situasinya sudah lain. Setelah 10 tahun, alhamdulillah, kita masih hidup. Marilah kita review.”

“Kalau tidak, kita ribut-ribut lagi. Kita ribut-ribut karena diberitakan 6.000 izin tambang tumpang tindih. Izin tambang diberikan kepada pemerintah kabupaten walaupun izin tambang sudah diberikan pemerintah di atasnya. Kan kacau. Kalau masalah pertambangan jangan hanya mengandalkan dokumen tanpa peninjauan lapangan. Begitu mau realisasi, eh ada izin lain di lokasi yang sama. Belum lagi izin tambang di hutan lindung atau hutan produksi.”

Maka, kalau otonomi direformulasi seiring pengembalian titik berat otonomi di provinsi maka akan ada urusan pusat dilimpahkan ke provinsi dan ada urusan kabupaten/kota yang dikembalikan ke provinsi. “Kita harus jelas dan tegas menyebut titik berat otonomi di provinsi, supaya bupati/walikota satu komando dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sekarang mereka mau jalan sendiri-sendiri.”

Ryaas, juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang pemerintahan dan reformasi birokrasi sejak tanggal 25 Januari 2010, ini menyatakan setuju jika UU Pemerintahan Daerah memperkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. “Perkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat; tidak dengan PP (Peraturan Pemerintah), tapi dengan UU. Bisa saja kita kembali ke konsep gubernur dan bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat.”

Asalkan, gubernur dan bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat tidak disebut sebagai penguasa tunggal di wilayahnya. “UU 22/1999 tidak menggunakan istilah wakil pemerintah pusat. Mengapa? Wakil pemerintah pusat, istilah UU 5/1974, selalu diikuti kalimat ‘penguasa tunggal’. Saya tidak mau ada wakil pemerintah pusat karena eksesnya buruk.”

“Dulu Jakarta yang menentukan siapa kepala daerah. Dirjen PUOD paling berkuasa di dunia karena menentukan siapa bupati/walikota. Bayangkan saja, mereka memilih wakil pemerintah pusat yang berbeda dengan hasil pemilihan DPRD. Misalnya, Jakarta menentukan calon nomor dua atau nomor tiga atau pusat meminta DPRD mengulangi pemilihan karena salah skenario,” ujar mantan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (Dirjen PUOD) ini.

Sesunggguhnya, gubernur dan bupati/walikota otomatis berperan ganda sebagai kepala daerah otonom dan sebagai kepala wilayah administrasi (wakil pemerintah pusat di daerah). “Semua pemerintah daerah di wilayah nasional otomatis menjadi wakil pemerintah pusat tanpa harus menyebutnya dalam UU. Setiap kepala daerah otomatis menjadi wakil pemerintah pusat di seluruh pemerintahan lokal di bawah pemerintahan nasional. Mereka satu kesatuan pemerintahan. Mereka melaksanakan undang-undang, instruksi presiden, dan seterusnya. Sama, dari atas ke bawah.”

Menurutnya, UU Pemerintahan Daerah bisa saja kembali ke konsep fused model yang menjadikan gubernur dan bupati/walikota berperan ganda, yaitu bertindak selaku kepala daerah sekaligus kepala wilayah. Hanya saja, aturannya harus jelas dan tegas membedakan tugas dan wewenang gubernur serta bupati/walikota sebagai kepala daerah dan sebagai kepala wilayah. “Bikin daftarnya yang detil, apa kewenangan mereka sebagai wakil pemerintah pusat dan apa kewenangan mereka sebagai kepala daerah.”

Menyangkut tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, Ryaas menyatakan UU 32/2004 tidak jelas dan tegas mengaturnya. Akibatnya, terjadi disharmoni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi perihal penyelenggaraan program dekonsentrasi yang dilimpahkan kementerian/lembaga kepada gubernur.

Penyebabnya, antara lain karena kementerian/lembaga berhubungan langsung dengan kepala satuan kerja perangkat daerah dalam penyelenggaraan program dekonsentrasi, sehingga ada gubernur yang tidak mengetahui pengelolaannya sejak awal hingga akhir. “Coba tanya gubernur, konfirmasi mereka. Mereka akan bilang, ‘Kami memang orang pemerintah pusat tapi apa kewenangan kami?’ Tak ada.”

“Kenapa? Karena tidak diturunkan Jakarta. Orang-orang di Jakarta takut kekurangan kekuasaan. Mereka tidak ikhlas menyerahkan kewenangannya kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, apalagi sebagai kepala daerah. Mereka tak mau mengalihkannya ke wilayah administrasi. Kalau memang gubernur wakil pemerintah pusat, kasih dong kekuasaan agar ia bisa menggunakan sumberdaya yang tersedia. Jadi, Jakarta yang bikin kacau semuanya.”

“Contohnya penanganan bencana alam. Tidak ada pengalihan kekuasaan kepada gubernur. Setelah tertimpa musibah, Anda mesti berdoa agar Jakarta bersedia membantu. Gubernur harus telepon presiden dulu atau menteri keuangan bahwa ia membutuhkan dana. Status bencana alamnya mesti ditetapkan dulu, bencana nasional atau bencana lokal. Orang keburu mati semua. Apa gubernur mesti berbohong agar dananya segera diturunkan?”

Karena UU 32/2004 tidak jelas dan tegas mengatur tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat maka tidak efektif dan efisien perannya melaksanakan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Kelemahan utamanya ialah tidak ada anggaran dan perangkat wilayah yang mendukung pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Akibatnya, progam dekonsentrasi dan penggunaan dananya sulit diaudit. Seharusnya, diperjelas dan dipertegas peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang mengelola program dekonsentrasi dan mempertanggungjawabkan penggunaan dananya. “Maaf, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) paling susah mengaudit dana dekonsentrasi. Entah berapa triliun. BPK saja mengaku, apalagi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).”

Karena UU 32/2004 tidak efektif dan efisien peran gubernur terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Makanya, bupati/walikota mengurus dana transfer ke Jakarta, termasuk ke DPR, tanpa menghiraukan peran gubernur. “Bupati/walikota ngurus ke Jakarta, harus kasih 10% dulu agar dapat dana. Mesti nyogok. Modus begini tidak rahasia lagi. Akibatnya, banyak bupati/walikota tidak bisa mengelola uang-uang muka yang disetornya ke Jakarta, ya masuk penjara.”

Terjadi pula disharmoni hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota karena tidak jelas dantidak tegas peran gubernur melaksanakan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. “Koordinasi, pembinaan, dan pengawasan tidak jalan. Diundang rapat, bupati/walikota tidak datang. Mereka mau jalan sendiri-sendiri. Jakarta yang bikin begitu, bukan salah bupati/walikota.”

Mengatasinya, dibutuhkan penguatan peran gubernur selaku wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan. “Berikan otonomi penuh kepada gubernur. Berikan saja kekuasaan penuh kepadanya untuk mengurus urusan domestik yang sudah bisa diurus pemerintah daerah. Logikanya, kalau urusan domestik sudah bisa diurus pemerintah daerah, serahkan saja kepada mereka. Pemerintah nasional hanya mengurus urusan yang strategis dan global.”

Mengenai pemilihan kepala daerah, Ryaas menjelaskan, ketidaksetujuannya. “UUD 1945 juga tidak memerintahkan. Itu hanya karena dua alasan yang sangat praktis, yaitu di DPRD terjadi money politics. Kita tidak sadar bahwa money politics-nya sekarang lebih luas. Dari 45-100 orang anggota DPRD provinsi, sekarang menjadi satu wilayah, 100 ribu sampai sekian juta orang di tingkat provinsi.”

“Alasan lainnya, pilpres (pemilihan presiden) aman sentosa, tidak masalah. Kira-kira begitu penilaiannya. Jadi bakal aman sentosa kalau dilaksanakan di kabupaten/kota. Kita juga tidak sadar bahwa pemilihan di kabupaten/kota tidak sama psikologisnya. Orang yang kalah atau menang di kabupaten/kota ketemu tiap hari. Mereka ketemu di pengajian, di pasar, di tempat orang mandi-mandi. Sakit hatinya berlanjut.”

“Calon-calon bupati/walikota belum tentu orang-orang yang berjiwa besar, beda dengan calon-calon presiden. Apalagi kalau belum berpengalaman politik sama sekali. Makanya, ada calon yang loncat ke sungai, gantung diri, gila. Satu bulan sebelum pilkada (pemilihan langsung kepala daerah) bom waktu pilkada. Saya prediksi semua yang akan terjadi. Kalau sekarang banyak terjadi, saya tidak ikut berdosa.”

Menurutnya, pilkada adalah salah satu penyebab korupsi kepala daerah dan terwujudnya pemerintahan yang tidak baik. “Dia harus bayar ongkos mahal. Saya observasi di Mamuju dan Nunukan. Ada beberapa desa yang penduduknya membuka pintu rumahnya sampai subuh dan memberi tanda di pintu rumahnya ‘menerima uang’.

“Kita harus mewariskan pemerintahan yang baik bagi masa depan generasi-generasi kita. Apakah hasil pilkada berhasil mewujudkan pemerintahan yang baik ketimbang pemilihan lewat DPRD? Kita sudah merasakan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Tidak lebih baik. Kita jangan mengulur-ulur waktu. Berapa lagi uang negara yang dikorupsi. Belum lagi, hasil pilkada menganiaya birokrasi di daerah.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun