Mantan penjabat Bupati Sumba Barat Daya dan Wakil Bupati Sumba Timur ini juga menegaskan, sikap tetap melalui prosedur DPD tidak hanya untuk pembahasan 65 RUU DOB, tetapi juga untuk semua usulan pembentukan DOB di masa nanti. “Dalam masa berikutnya waktu mengajukan usulan pembentukan DOB, kita tetap harus persyaratkan melalui DPD. Barulah kita membahasnya. Inilah pedoman kita selanjutnya.”
Dia pun setuju sikap Pemerintah yang melakukan seleksi bertahap terhadap usulan 65 DOB berdasarkan kajian administrasi, prosedur, dan teknis. “Berapa pun yang dihasilkan sampai 6 Maret, itulah hasil optimal yang harus diterima. Dari 65 DOB, 30 di antaranya telah direkomendasikan Komite I DPD, sisanya harus mengikuti mekanisme yang sama. 30-lah yang kita prioritaskan. Andaikan besok lusa tiba-tiba ada yang ke sini, kita tetap komit untuk prioritaskan 30.”
Mantan Ketua Timja RUU Otonomi Khusus Papua, Paulus Yohanes Sumino (senator asal Papua), mengingatkan agar DPR, DPD, dan Pemerintah membahas 65 calon DOB setelah perampungan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sependapat dengan Pemerintah, DPD juga menginginkan pembentukan DOB melalui tahapan daerah persiapan. Daerah persiapan dievaluasi 3 plus 2 tahun dan jika layak menjadi DOB maka RUU DOB-nya dibahas oleh ketiga pihak.
“Prinsip yang harus disepakati, DOB selesai sesudah revisi UU 32/2004. Mengapa? Karena kami sependapat dengan Pemerintah, agar pembentukan DOB melalui daerah persiapan. Kami menghendaki jangka waktu daerah persiapan 3 tahun plus 2 tahun. Sayangnya, lemah sekali argumentasi Pemerintah dalam raker Komisi II DPR yang lalu, tidak support kami. Pemerintah malah ingin memperpendek. Kalau jangka waktunya diperpendek justru makin sulit.”
Senada dengan Emanuel, Paulus juga mengingatkan agar pembahasan 65 RUU calon DOB hanya usulan DOB yang melewati prosedur DPD, sedangkan usulan DOB bermasalah tidak dibahas. Hanya usulan DOB yang memenuhi persyaratan yang diproses lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. “Kita hanya membahas usulan yang melewati prosedur DPD,” sambungnya, seraya mencontohkan Yahokimo yang layak dimekarkan menjadi 5 DOB saja, tapi DPR justru meloloskan 6 DOB. “Kita mesti cermat memeriksa syarat administrasinya, termasuk kemungkinan dua panitia pemekaran mengusulkan dua DOB. Kejadian begini tidak bisa terjadi di DPD.”
Terhadap semua usulan DOB tersebut, mantan anggota Fraksi Partai Golkar (F-PG) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua selama dua periode ini ini memberikan dua solusinya: kesatu, menyelesaikan pembahasan usulan DOB yang tidak bermasalah; dan kedua, mengembalikan usulan DOB yang bermasalah, misalnya karena klaim wilayah yang tumpang-tindih atau beririsan, termasuk dukungan gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah yang memberikan pertimbangan ihwal persetujuanpembentukan calon kabupaten/kota.
Paulus menyinggung pembentukan 65 DOB yang 33 di antaranya di Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 21 DOB di Papua dan 9 DOB di Papua Barat. Ke-3 DOB lainnya adalah 2 pemekaran provinsi di Papua dan 1 pemekaran provinsi di Papua Barat, yaitu Propinsi Papua Selatan sebagai pemekaran Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah sebagai pemekaran Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat Daya sebagai pemekaran Provinsi Papua Barat.
Ihwal calon Provinsi Papua Selatan, Paulus mengakui, pihaknya belum membahas usulan DOB-nya. Alasannya, bagi provinsi yang memiliki status otonomi khusus, pembentukan daerah selain harus memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, juga harus memedomani Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, khususnya ketentuan rekomendasi (persetujuan) Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk rencana pemekaran provinsi.
UU 21/2001 Pasal20 Ayat (1) point e menyatakan tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP) antara lain memperhatikan dan menyalurkan aspirasi atau pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat umum yang menyangkut perlindungan hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjutnya. Lalu, Pasal 76 UU yang sama menyatakan bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) setelah sungguh-sungguh memperhatikan kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa mendatang.
“Calon Provinsi Papua Selatan, menurut saya, sangat layak didorong, apalagi pertimbangannya geostrategis, geopolitik, serta pertahanan keamanan. Waktu itu kami belum selesai membahasnya karena tanpa rekomendasi MRP. Kami sudah lakukan kunjungan ke sana. Sekarang sudah ada rekomendasi MRP,” tegasnya. “Sedangkan Provinsi Papua Tengah memang bermasalah, selain belum ada rekomendasi MRP. Usulan ini sebaiknya pending (ditunda) saja.”
Senator asal Kalimantan Barat Ishaq Saleh menyinggung calon Provinsi Kapuas Raya sebagai pemekaran Kalimantan Barat untuk mendorong perkembangan dan kemajuan daerah-daerah di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Memperhatikan aspirasi masyarakat dan menimbang kondisi wilayahnya, maka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menjadi beban kerja provinsi yang baru. “Lima kabupatennya, tiga di antaranya wilayah perbatasan. Siang hari ini Koordinator Pemekaran Provinsi Kapuas Raya akan ekspose di sini. Kalau usulannya melalui kami, prosesnya bisa cepat. Barangkali bisa menyusul.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H