Setelah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (24/10/2013) lalu, menyepakati usulan 65 daerah otonom baru (DOB) dan menyetujui ke-65 RUU pembentukan DOB-nya sebagai usul inisiatif DPR, akhirnya pembahasan lanjutan 65 DOB dijadwalkan tanggal 27 Februari 2014 (awalnya tanggal 25 Februari 2014), yang melibatkan tiga pihak, yakni Komisi II DPR, Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah.
Agendanya: Laporan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru ke Rapat Pleno Komisi II DPR; pembacaan naskah RUU tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru; pendapat mini fraksi-fraksi, Tim Kerja (Timja) Pemekaran Daerah Komite I DPD, dan Pemerintah; pengambilan keputusan tingkat I; serta penyampaian penjelasan Pemerintah terhadap hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) atas 65 RUU DOB. Komisi II DPR berkomitmen untuk merampungkan pembahasan 65 RUU DOB sebelum berakhirnya masa jabatan periode 2009-2014 per tanggal 1 Oktober 2014.
Komite I DPD telah menyatakan kesetujuannya untuk membahas ke-65 RUU DOB. Adapun Pemerintah telah menyetujui pembahasan 65 DOB melalui penerbitan Amanat Presiden (Ampres) tanggal 27 Desember 2013 lalu dan menunjuk tiga menteri, yakni Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), serta Menteri Keuangan (Menkeu), untuk mewakili Presiden selama pembahasan.
Dalam rapat kerja (raker) antara Komite I DPD dan Kemdagri yang diwakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemdagri Djohermansyah Djohan, Senin (10/2/2014) lalu di Gedung DPD, para senator mengingatkan Pemerintah agar bersikap firm (strong and sure): apakah pembahasan 65 DOB setelah penyelenggaraan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) atau setelah penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dipimpin Ketua Komite I DPD Alirman Sori (senator asal Sumatera Barat), raker itu membahas kebijakan Pemerintah mengenai penataan daerah, khususnya menanggapi 65 DOB sebagai usul inisiatif DPR.
Ketua Timja RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (RUU Pemilukada) Farouk Muhammad (senator asal Nusa Tenggara Barat) menyoroti proses pembahasan usulan 65 DOB yang berpotensi masalah, karena tidak mungkin selesai semuanya sebelum pemilu legislatif. Menghadapi raker di Komisi II DPR yang dijadwalkan tanggal 27 Februari 2014, sikap Pemerintah harus tegas dan pasti apakah pembahasan 65 RUU DOB setelah penyelenggaraan pemilu legislatif atau setelah penyelesaian revisi UU Pemerintahan Daerah.
“Sikap kami: sesudah pemilu (legislatif). Kami tidak punya interest politik di sini, benar-benar murni. Sikap Pemerintah juga harus firm, jangan kami sendirian bersikap begini. Harus benar-benar jadi komitmen kita. Kita yakinkan betul, bahwa mengejar pembahasan usulan 65 DOB sebelum pemilu, agak berat. Dari sekian pertimbangan, (pertimbangan) ini yang harus kita tekankan.”
“Kalau 30 DOB kita prioritaskan, 35 DOB kita kesampingkan, mampukah selesai semuanya sebelum pemilu atau sebelum revisi UU? Kalau tidak, mau tidak mau akan selektif. Begitu (keputusan kita) selektif, bisa saja akan muncul masalah. Kita akan menyimpan bom waktu,” ujarnya. Masalah dimaksud, misalnya, satu usulan DOB merasa urgen ketimbang calon DOB lain atau beberapa calon DOB merasa perlakuan diskriminasi, sehingga berpotensi terjadi bentrokan masyarakat di calon provinsi dan calon kabupaten/kota bersangkutan.
Masalah lain, karena tenggat waktunya mepet sebelum Sidang Paripurna DPR tanggal 6 Maret 2014 (selanjutnya masa reses yang dijadwalkan berakhir tanggal 6 Mei 2014), jika pembahasan usulan DOB dipaksakan, rujukan tata cara pembentukan daerahnya menggunakan rezim UU Pemerintahan Daerah yang berbeda, yaitu sebagian usulan DOB menggunakan dasar hukum UU yang lama, sebagian lain dasar hukumnya UU yang baru. “Karena soal waktu, nanti bisa menggunakan dua rezim UU yang berlaku. Kalau rezim UU yang lama, ketok, jadi. Sisanya, rezim UU yang baru. Bisa terjadi bentrok, saya nggak bisa bayangkan.”
Mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang meraih master di Oklahoma City University (1993-1994) dan doktor di Florida State University (1994-1998) ini kembali mengingatkan, “Tidak mungkin kita selesaikan 65 DOB. Argumentasi ini harus kita pertahankan nanti. Waktunya jangan kita kejar, tanggal sekian harus sekian DOB selesai. Tetapkan timing yang tepat kita finalkan semuanya. Memprosesnya oke-oke saja, tapi alasan sejumlah itu harus ditekankan.”
Farouk serius mempertanyakan jor-jorannya usulan DOB. Total jenderal 91 RUU DOB yang disepakati DPR untuk dibahas, yaitu 65 RUU DOB ditambah 22 RUU DOB, plus 4 RUU DOB sisa usulan 19 RUU DOB sejak tahun 2012. “Jumlah ini nggak terkendali, jor-joran,” katanya. Di balik rentetan usulan DOB itu, terdengar kabar tak sedap bahwa satu RUU bertarif sejumlah rupiah, atau suatu usulan DOB menjadi jualan politik di daerah dalam pemilu nanti.
“Pintu masuk” DPD
Ketua Timja RUU Pemerintahan Daerah Komite I DPD Emanuel Babu Eha (senator asal Nusa Tenggara Timur) menyambut baik sikap Pemerintah yang menempuh prosedur pengajuan usulan melewati tiga “pintu masuk” (DPR, DPD, Pemerintah). “Sikap taat asas melalui prosedur DPD-lah yang kami kehendaki. Kami benar-benar ingatkan semua pihak, usulan yang belum melalui prosedur DPD, kita sisihkan. Sebagai lembaga perwakilan yang kedudukannya setara DPR, DPD juga ‘pintu masuk’ penyampaian usulan DOB. Daerah-daerah pengusul yang ingin pemekaran harus diingatkan, meskipun mereka lewat ‘pintu masuk’ DPR dan ‘pintu masuk’ Pemerintah, jangan lupakan ‘pintu masuk’ DPD. Langkah perjuangan menuju pemekaran harus melalui prosedur DPD!”
Mantan penjabat Bupati Sumba Barat Daya dan Wakil Bupati Sumba Timur ini juga menegaskan, sikap tetap melalui prosedur DPD tidak hanya untuk pembahasan 65 RUU DOB, tetapi juga untuk semua usulan pembentukan DOB di masa nanti. “Dalam masa berikutnya waktu mengajukan usulan pembentukan DOB, kita tetap harus persyaratkan melalui DPD. Barulah kita membahasnya. Inilah pedoman kita selanjutnya.”
Dia pun setuju sikap Pemerintah yang melakukan seleksi bertahap terhadap usulan 65 DOB berdasarkan kajian administrasi, prosedur, dan teknis. “Berapa pun yang dihasilkan sampai 6 Maret, itulah hasil optimal yang harus diterima. Dari 65 DOB, 30 di antaranya telah direkomendasikan Komite I DPD, sisanya harus mengikuti mekanisme yang sama. 30-lah yang kita prioritaskan. Andaikan besok lusa tiba-tiba ada yang ke sini, kita tetap komit untuk prioritaskan 30.”
Mantan Ketua Timja RUU Otonomi Khusus Papua, Paulus Yohanes Sumino (senator asal Papua), mengingatkan agar DPR, DPD, dan Pemerintah membahas 65 calon DOB setelah perampungan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sependapat dengan Pemerintah, DPD juga menginginkan pembentukan DOB melalui tahapan daerah persiapan. Daerah persiapan dievaluasi 3 plus 2 tahun dan jika layak menjadi DOB maka RUU DOB-nya dibahas oleh ketiga pihak.
“Prinsip yang harus disepakati, DOB selesai sesudah revisi UU 32/2004. Mengapa? Karena kami sependapat dengan Pemerintah, agar pembentukan DOB melalui daerah persiapan. Kami menghendaki jangka waktu daerah persiapan 3 tahun plus 2 tahun. Sayangnya, lemah sekali argumentasi Pemerintah dalam raker Komisi II DPR yang lalu, tidak support kami. Pemerintah malah ingin memperpendek. Kalau jangka waktunya diperpendek justru makin sulit.”
Senada dengan Emanuel, Paulus juga mengingatkan agar pembahasan 65 RUU calon DOB hanya usulan DOB yang melewati prosedur DPD, sedangkan usulan DOB bermasalah tidak dibahas. Hanya usulan DOB yang memenuhi persyaratan yang diproses lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. “Kita hanya membahas usulan yang melewati prosedur DPD,” sambungnya, seraya mencontohkan Yahokimo yang layak dimekarkan menjadi 5 DOB saja, tapi DPR justru meloloskan 6 DOB. “Kita mesti cermat memeriksa syarat administrasinya, termasuk kemungkinan dua panitia pemekaran mengusulkan dua DOB. Kejadian begini tidak bisa terjadi di DPD.”
Terhadap semua usulan DOB tersebut, mantan anggota Fraksi Partai Golkar (F-PG) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua selama dua periode ini ini memberikan dua solusinya: kesatu, menyelesaikan pembahasan usulan DOB yang tidak bermasalah; dan kedua, mengembalikan usulan DOB yang bermasalah, misalnya karena klaim wilayah yang tumpang-tindih atau beririsan, termasuk dukungan gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah yang memberikan pertimbangan ihwal persetujuanpembentukan calon kabupaten/kota.
Paulus menyinggung pembentukan 65 DOB yang 33 di antaranya di Papua dan Papua Barat, yang terdiri atas 21 DOB di Papua dan 9 DOB di Papua Barat. Ke-3 DOB lainnya adalah 2 pemekaran provinsi di Papua dan 1 pemekaran provinsi di Papua Barat, yaitu Propinsi Papua Selatan sebagai pemekaran Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah sebagai pemekaran Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat Daya sebagai pemekaran Provinsi Papua Barat.
Ihwal calon Provinsi Papua Selatan, Paulus mengakui, pihaknya belum membahas usulan DOB-nya. Alasannya, bagi provinsi yang memiliki status otonomi khusus, pembentukan daerah selain harus memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, juga harus memedomani Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, khususnya ketentuan rekomendasi (persetujuan) Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk rencana pemekaran provinsi.
UU 21/2001 Pasal20 Ayat (1) point e menyatakan tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP) antara lain memperhatikan dan menyalurkan aspirasi atau pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat umum yang menyangkut perlindungan hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjutnya. Lalu, Pasal 76 UU yang sama menyatakan bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) setelah sungguh-sungguh memperhatikan kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa mendatang.
“Calon Provinsi Papua Selatan, menurut saya, sangat layak didorong, apalagi pertimbangannya geostrategis, geopolitik, serta pertahanan keamanan. Waktu itu kami belum selesai membahasnya karena tanpa rekomendasi MRP. Kami sudah lakukan kunjungan ke sana. Sekarang sudah ada rekomendasi MRP,” tegasnya. “Sedangkan Provinsi Papua Tengah memang bermasalah, selain belum ada rekomendasi MRP. Usulan ini sebaiknya pending (ditunda) saja.”
Senator asal Kalimantan Barat Ishaq Saleh menyinggung calon Provinsi Kapuas Raya sebagai pemekaran Kalimantan Barat untuk mendorong perkembangan dan kemajuan daerah-daerah di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Memperhatikan aspirasi masyarakat dan menimbang kondisi wilayahnya, maka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menjadi beban kerja provinsi yang baru. “Lima kabupatennya, tiga di antaranya wilayah perbatasan. Siang hari ini Koordinator Pemekaran Provinsi Kapuas Raya akan ekspose di sini. Kalau usulannya melalui kami, prosesnya bisa cepat. Barangkali bisa menyusul.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H