Oleh Anto Narasoma, Penyair di Palembang
KEYAKINAN seorang umat ke pada Sang Khalik, tercermin dari sikap dan perilaku hamba-Nya.
-------
Penyair Sumatera Selatan Imron Supriyadi menyatakan permohonannya ke pada Allah SWT. Mengapa?
Sebagai hamba yang selalu dekat dengan sujud dan doa, Imron tampaknya "tidak percaya" ke pada sesama manusia. Mengapa begitu?
Entah, saya tidak berusaha mengupas tentang ketidakpercayaannya terhadap sesama manusia. Namun secara estetika, puisinya bertajuk "Tuhan, Aku Ingin Menagih Janji-Mu" menarik perhatian saya.
Karena dalam tuturan diksi yang memuat kata-kata khusus permintaan, Imron mencoba mengutarakan harapannya ke pada Allah SWT.
Coba kita masuk ke ruang telaah terhadap bait-bait si penyair menyatakan permintaan. ..Tuhan, hari ini aku ingin menagih janji-Mu/ Sebab dalam ayat ayat-Mu/ Kau ucap ud 'uni astajib lakum: mintalah ke pada-Ku/ Niscaya akan kukabulkan...
Tampaknya keberanian Imron meminta ke pada Sang Khalik sudah memenuhi kriteria. Karena salat dan kedekatannya pada Alquran boleh dikata telah memenuhi syarat kaidahnya sebagai hamba.
Seperti dikemukakan Slauerhoff, permintaan ke pada Sang Pentjipta terkait kebutuhan hambanja, merupakan dasar permohonan setelah ia radjin beribadah ( ..halaman 92 buku Kesusasteraan Indonesia : Jajasan Pembangunan Djakarta 1953).
Andaikan kewadjibannja telah ditunaikan sesuai kaidah agama, maka permintaannja ke pada Allah itu sahih dimunadjatkan.
Apalagi Imron Supriyadi meninjaklanjutinya dengan memahami surat Al Mukmin ayat 60, ia tidak percaya lagi ke pada sesama manusia (Sejak aku baca Surah Al Mukmin ayat 60 itu/ Aku tak lagi percaya pada makhkuk-Mu : Manusia/ Sebab sekiranya aku boleh/ Meminta malaikat membelah dadaku/ Sebagaimana Engkau/ Membersihkan hati Muhammad/ Kekasih-Mu/ Maka orang akan tahu, mengapa aku tak lagi percaya/ Pada makhluk-Mu : bernama manusia...
Begitu "bencinya" Imron dengan sesamanya. Entah, saya tidak tahu apakah dia telah mengalami hal menyakitkan. Namun dari bait kedua itu dengan tegasnya dinyatakannya.
Dalam buku Perjalanan Sastra Indonesia terbitan Gunung Jati Jakarta 1983, Â pendekatan dikotomi seperti itu merupakan ungkapan "sakit hati" terkait Fell of Human (Korrie Layun Rampan).
Jadi wajar diungkapnya perasaan ektrem seperti itu  ketika hatinya terluka. Meski demikian, Imron tidak banyak berimajinasi (imagery) ketika mengungkap ketidakpercayaannya atas sikap manusia.
Banyak penyair menulis puisinya secara tersamar. Namun tiap puisi pasti memiliki gagasan secara intention untuk mengungkap tujuan isi.
Bahkan ketika puisi itu diungkap secara samar, pembaca dituntut untuk meningkatkan kreativitasnya untuk dapat menangkap maksud puisi tersebut.
Namun Imron Surpriyadi menulis gagasannya secara transparan, sehingga pembaca akan cepat menangkap maksud yang terkandung di dalam isinya.
Seperti diungkap penyair sufi Arab, Ibnu Al-Farid, jika yang terkoyak adalah perjuangan untuk menggapai keridoannya ke pada Allah SWT.
Meski dalam ud 'uni astajib lakum merupakan permintaan, namum janji Allah itu akan diwujudkan-Nya melalui isyarat, Â tanda-tanda. Artinya, kita tidak mampu menerima balasan secara langsung dan transparan dari Allah. Mengapa? Karena nilai kehambaan yang kita sandang sebagai manusia papah, terasa sangat kecil di hadapan-Nya.
Manusia dan Allah SWT, ibarah jasad bakteri di hadapan-Nya. Begitu kecilnya manusia. Â Seperti dikemukakan Sapto Kuntoro di dalam Mikroba dan Hari Depan Manusia (Yayasan Padamu Negeri Jakarta 1985), Â secara mikro biologis, mikroba mampu berbuat baik bagi masa depan manusia.
Dari apa yang dijelaskan Sapto Kuncoro, kekerdilan manusia, dapat bersinerji sebagai hamba ke pada Tuhannya.
Karena Allah tidak akan  memberi janji dan jawabannya secara langsung ke pada manusia. Sebab secara logika, tahapan janji yang diwujudkan-Nya bisa diterima hamba-Nya dengan isyarat (seolah tak ada, tapi terasa ada).
Secara bentuk, puisi "Tuhan, Aku Ingin Menagih Jnji-Mu" ini menjelaskan tentang kemarahan atas pengkhianatan manusia (barangkali), ketakwaan dan permintaan.
Namun menurut penyair sufi, Jalaluddin Rumi, tugas manusia hanya berusaha memohon dan tidak meminta. Karena kita tidak pantas meminta (secara langsung), tapi hanya memohon dengan tangan terpentang ke atas (doa).
Secara psikologisme, merupakan permintaan hingga ke ruang-ruang keimanan, sehingga mewujudkan tinjauan rohani dari tempat dan waktu.
Meski tidak keras, namun puisi Imron ini terkesan ada kandungan ekpresionisme. Sebab setiap lirik dan larik-larik yang diungkap, merupakan manifestasi kejiwaan penyairnya.
Sama seperti yang diungkap Dr JJ de Hollander (Maleise Taal en Letterkunde 1942), Â wajar apabila permintaan insan yang kukuh menjalankan keyakinannya, Â mencari balasan dari Tuhannya.
Terkait puisi relijik seperti ditulis Imron ini, dalam buku Kesusteraan Indonesia dimasa Djepang (1943), HB Jassin, mengatakan konteks pribadi dan kewibawaan insan ke pada Tuhannja.
Dalam menelusuri tiap lirik puisi "Tuhan, Aku Ingin Menagih Janji-Mu", ada catatan yang perlu diperhatikan penyair.
Misalnya, kata keluar, sesuai KBBI ke luar. Kepada ada baiknya ke pada, apapun (apa pun). Biarlah ada beberapa penyair yang tidak memenuhi kaidah bahasa.
Namun sebagai penyair, kita memiliki kewajiban menjaga hakikat bahasa Indonesia yang baik dan benar. (*)
Palembang, 2 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H