Andaikan kewadjibannja telah ditunaikan sesuai kaidah agama, maka permintaannja ke pada Allah itu sahih dimunadjatkan.
Apalagi Imron Supriyadi meninjaklanjutinya dengan memahami surat Al Mukmin ayat 60, ia tidak percaya lagi ke pada sesama manusia (Sejak aku baca Surah Al Mukmin ayat 60 itu/ Aku tak lagi percaya pada makhkuk-Mu : Manusia/ Sebab sekiranya aku boleh/ Meminta malaikat membelah dadaku/ Sebagaimana Engkau/ Membersihkan hati Muhammad/ Kekasih-Mu/ Maka orang akan tahu, mengapa aku tak lagi percaya/ Pada makhluk-Mu : bernama manusia...
Begitu "bencinya" Imron dengan sesamanya. Entah, saya tidak tahu apakah dia telah mengalami hal menyakitkan. Namun dari bait kedua itu dengan tegasnya dinyatakannya.
Dalam buku Perjalanan Sastra Indonesia terbitan Gunung Jati Jakarta 1983, Â pendekatan dikotomi seperti itu merupakan ungkapan "sakit hati" terkait Fell of Human (Korrie Layun Rampan).
Jadi wajar diungkapnya perasaan ektrem seperti itu  ketika hatinya terluka. Meski demikian, Imron tidak banyak berimajinasi (imagery) ketika mengungkap ketidakpercayaannya atas sikap manusia.
Banyak penyair menulis puisinya secara tersamar. Namun tiap puisi pasti memiliki gagasan secara intention untuk mengungkap tujuan isi.
Bahkan ketika puisi itu diungkap secara samar, pembaca dituntut untuk meningkatkan kreativitasnya untuk dapat menangkap maksud puisi tersebut.
Namun Imron Surpriyadi menulis gagasannya secara transparan, sehingga pembaca akan cepat menangkap maksud yang terkandung di dalam isinya.
Seperti diungkap penyair sufi Arab, Ibnu Al-Farid, jika yang terkoyak adalah perjuangan untuk menggapai keridoannya ke pada Allah SWT.
Meski dalam ud 'uni astajib lakum merupakan permintaan, namum janji Allah itu akan diwujudkan-Nya melalui isyarat, Â tanda-tanda. Artinya, kita tidak mampu menerima balasan secara langsung dan transparan dari Allah. Mengapa? Karena nilai kehambaan yang kita sandang sebagai manusia papah, terasa sangat kecil di hadapan-Nya.
Manusia dan Allah SWT, ibarah jasad bakteri di hadapan-Nya. Begitu kecilnya manusia. Â Seperti dikemukakan Sapto Kuntoro di dalam Mikroba dan Hari Depan Manusia (Yayasan Padamu Negeri Jakarta 1985), Â secara mikro biologis, mikroba mampu berbuat baik bagi masa depan manusia.