Dari apa yang dijelaskan Sapto Kuncoro, kekerdilan manusia, dapat bersinerji sebagai hamba ke pada Tuhannya.
Karena Allah tidak akan  memberi janji dan jawabannya secara langsung ke pada manusia. Sebab secara logika, tahapan janji yang diwujudkan-Nya bisa diterima hamba-Nya dengan isyarat (seolah tak ada, tapi terasa ada).
Secara bentuk, puisi "Tuhan, Aku Ingin Menagih Jnji-Mu" ini menjelaskan tentang kemarahan atas pengkhianatan manusia (barangkali), ketakwaan dan permintaan.
Namun menurut penyair sufi, Jalaluddin Rumi, tugas manusia hanya berusaha memohon dan tidak meminta. Karena kita tidak pantas meminta (secara langsung), tapi hanya memohon dengan tangan terpentang ke atas (doa).
Secara psikologisme, merupakan permintaan hingga ke ruang-ruang keimanan, sehingga mewujudkan tinjauan rohani dari tempat dan waktu.
Meski tidak keras, namun puisi Imron ini terkesan ada kandungan ekpresionisme. Sebab setiap lirik dan larik-larik yang diungkap, merupakan manifestasi kejiwaan penyairnya.
Sama seperti yang diungkap Dr JJ de Hollander (Maleise Taal en Letterkunde 1942), Â wajar apabila permintaan insan yang kukuh menjalankan keyakinannya, Â mencari balasan dari Tuhannya.
Terkait puisi relijik seperti ditulis Imron ini, dalam buku Kesusteraan Indonesia dimasa Djepang (1943), HB Jassin, mengatakan konteks pribadi dan kewibawaan insan ke pada Tuhannja.
Dalam menelusuri tiap lirik puisi "Tuhan, Aku Ingin Menagih Janji-Mu", ada catatan yang perlu diperhatikan penyair.
Misalnya, kata keluar, sesuai KBBI ke luar. Kepada ada baiknya ke pada, apapun (apa pun). Biarlah ada beberapa penyair yang tidak memenuhi kaidah bahasa.
Namun sebagai penyair, kita memiliki kewajiban menjaga hakikat bahasa Indonesia yang baik dan benar. (*)