...kaya dan miskin itu hanya sebutan. Â Kalau kita mengaku miskin, berarti kita sedang memosisikan diri sebagai orang miskin. Meskipun secara fisik dan pemenuhan keseharian sebenarnya lebih dari cukup. Â Tetapi sebaliknya, meski dalam kesehariannya serba kekurangan dan keterbatasan, tetapi kalau menyebut diri kita kaya, maka saat itu kita adalah orang kaya.
Hampir setiap kita punya cita-cita untuk menjadi kaya. Â Status kaya, bagi orang kebanyakan diukur dengan jumlah rupiah, fasilitas mewah dan kehidupan yang serba ada. Ukuran orang biasa, kaya itu tercukupi secara fisik. Banyak orang menyebut, kaya berarti seseorang yang dapat memenuhi apa yang diinginkan, bukan apa yang dibutuhkan.
Sebab antara keinginan dan kebutuhan seolah sepadan. Tapi dalam kenyataan, kedua kata itu punya makna berbeda. Misalkan saja; suatu ketika kita lapar, maka jalan keluarnya adalah makan. Pada posisi ini, makan menjadi kebutuhan bukan keinginan.
Tapi di lain waktu, ketika kita berhasrat makan dengan lauk ayam, daging atau berselera lebih dari sekadar melepas lapar, itu namanya keinginan. Bukan pada makannya tetapi selera lauk yang lain dari biasa
Sebab kali itu, kita sedang ingin makan jika ada lauk ayam atau daging. Sementara di rumah kita sudah tersedia lauk lain, yang sebenarnya sudah cukup untuk sekadar melepas lapar. Â
Maka kebanyakan, orang baru akan disebut kaya jika seseorang bisa membeli apapun yang diinginkan, kapan dan dimana saja, tanpa batas materi, ruang dan waktu.
Tapi bagi Idas, salah satu teman saya di Palembang, kaya dan miskin itu hanya sebutan. Â Kalau kita mengaku miskin, berarti kita sedang memosisikan diri sebagai orang miskin. Meskipun secara fisik dan pemenuhan keseharian sebenarnya lebih dari cukup. Â Tetapi sebaliknya, meski dalam kesehariannya serba kekurangan dan keterbatasan, tetapi kalau menyebut diri kita kaya, maka saat itu kita adalah orang kaya.
Ketika Presiden SBY menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), Â faktanya malah berbalik. Program yang seharusnya diperuntukkan bagi orang miskin, tetapi tidak sedikit orang yang kemudian mengaku miskin. Bahkan diantaranya ada yang sengaja memosisikan dirinya miskin.
Sebab, ada saja orang yang fisiknya berkecukupan, tetapi tanpa malu mendatangi Ketua RT dan minta Surat Keterangan Miskin (SKM). Tujuannya agar yang bersangkutan dapat memperoleh jatah BLT yang di tahun 2013 menjelma menjadi Bantuan Langsung  Sementara Masyarakat (BALSEM).
Semula, pemaknaan saya terhadap kaya dan miskin juga terhanyut pada pengertian umum sebagaimana banyak orang. Tetapi setelah menjalani proses panjang, ternyata saya kemudian sepakat dengan apa yang dikatakan Idas, salah satu teman saya di Palembang, katanya : kaya dan miskin hanya sebutan, bukan diukur dengan tampilan materi.
Kata-kata Idas ini kemudian mengingatkan saya pada ungkapan Kiai Madjid, guru ngaji saya di Tanjung Enim Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan. Katanya, di era yang serba ingin mewah ini, orang kebanyakan berlomba minta dilihat seperti orang kaya.
"Itu yang namanya penyakit kaya," ujar Kiai Madjid ketika itu. Kami heran dengan istilah itu. Agak aneh mendengar kalimat penyakit kaya.
"Panyakit kaya?" Â Iswan salah satu aktifis remaja Masjid Nurul Iman Talamg Jawa di Tanjung Enim penasaran. Beberapa detik mata saya dan Iswan saling tatap. Kami sama-sama belum mengerti makna tersembunyi di balik kalimat Pak Madjid : Penyakit kaya.
"Lho, lha iyalah, namanya penyakit kaya," lanjutnya.
"Kan mereka ingin dilihat seperti orang kaya. Kalau seperti, berarti tidak sebenarnya," tegasnya.
Pak Madjid kemudian menyodorkan perumpamaan pada kami. Misalnya ada gambar duit. Namanya juga gambar duit, berarti bukan duit sebenarnya.
"Misalnya kalian sedang di depan cermin. di cermin itu kan ada wajahmu. Tapi itu gambar. Itu hanya seperti wajahmu, bukan wajahmu sebenarnya! bener nggak?!" ujarnya sembari menyeringai.
 Sama dengan orang yang ingin dikatakan kaya. Namanya juga ingin seperti, berarti mereka itu sebenarnya tidak kaya, karena baru ingin seperti orang kaya.
"Kalau orang benar-benar kaya, malah tidak ingin dikatakan kaya. Sebab mereka takut kalau sampai ketahuan kaya, nanti ada saja yang punya niat buruk, atau takut banyak yang meminjam atau minta uang. Makanya jangan heran, kalau ada orang kaya, tetapi penampilannya malah tidak menunjukkan orang kaya. Yang seperti itu orang  kaya sebenarnya. Berbeda dengan orang yang sedang ingin disebut seperti orang kaya, sebenarnya dia itu tidak kaya, karena baru se-per-ti, berarti buka yang sebenarnya," ujarnya.
Obrolan malam itu mengingatkan saya pada sebuah kisah novel serial Kho Ping Ho pada sesi Si Pedang Terbang-1. Dalam cerita itu, sang penulis Asmaraman menyebut; betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia masih merasa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang yang miskin. Dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya.Â
Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Jadi letak ukurannya bukan di saku atau di gudang harta, melainkan di dalam hatinya.**
Palembang, 14 November 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI