Kata-kata Idas ini kemudian mengingatkan saya pada ungkapan Kiai Madjid, guru ngaji saya di Tanjung Enim Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan. Katanya, di era yang serba ingin mewah ini, orang kebanyakan berlomba minta dilihat seperti orang kaya.
"Itu yang namanya penyakit kaya," ujar Kiai Madjid ketika itu. Kami heran dengan istilah itu. Agak aneh mendengar kalimat penyakit kaya.
"Panyakit kaya?" Â Iswan salah satu aktifis remaja Masjid Nurul Iman Talamg Jawa di Tanjung Enim penasaran. Beberapa detik mata saya dan Iswan saling tatap. Kami sama-sama belum mengerti makna tersembunyi di balik kalimat Pak Madjid : Penyakit kaya.
"Lho, lha iyalah, namanya penyakit kaya," lanjutnya.
"Kan mereka ingin dilihat seperti orang kaya. Kalau seperti, berarti tidak sebenarnya," tegasnya.
Pak Madjid kemudian menyodorkan perumpamaan pada kami. Misalnya ada gambar duit. Namanya juga gambar duit, berarti bukan duit sebenarnya.
"Misalnya kalian sedang di depan cermin. di cermin itu kan ada wajahmu. Tapi itu gambar. Itu hanya seperti wajahmu, bukan wajahmu sebenarnya! bener nggak?!" ujarnya sembari menyeringai.
 Sama dengan orang yang ingin dikatakan kaya. Namanya juga ingin seperti, berarti mereka itu sebenarnya tidak kaya, karena baru ingin seperti orang kaya.
"Kalau orang benar-benar kaya, malah tidak ingin dikatakan kaya. Sebab mereka takut kalau sampai ketahuan kaya, nanti ada saja yang punya niat buruk, atau takut banyak yang meminjam atau minta uang. Makanya jangan heran, kalau ada orang kaya, tetapi penampilannya malah tidak menunjukkan orang kaya. Yang seperti itu orang  kaya sebenarnya. Berbeda dengan orang yang sedang ingin disebut seperti orang kaya, sebenarnya dia itu tidak kaya, karena baru se-per-ti, berarti buka yang sebenarnya," ujarnya.
Obrolan malam itu mengingatkan saya pada sebuah kisah novel serial Kho Ping Ho pada sesi Si Pedang Terbang-1. Dalam cerita itu, sang penulis Asmaraman menyebut; betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia masih merasa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang yang miskin. Dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya.Â
Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Jadi letak ukurannya bukan di saku atau di gudang harta, melainkan di dalam hatinya.**