Kali itu, tetangga saya ini menyarankan agar, saya dan isteri membuat peryataan keluarga miskin atau tidak mampu dari ketua RT atau kelurahan.
Malam harinya, saat saya berbincang sanati dengan isetri, seketika isetri saya bilang; "Yah, kato tetangg kito, kalau kita nak nyekolahke Caca---panggilan anak saya, ke pesantren, pacak dapat potongan lima puluh persen," kata isteri saya membuka pembicaran malam itu.
"Ada, tapinya, ndak?" tanya saya merespon cepat.
"Yo, itu syaratnyo, kito harus buat surat keterangan miskin, atau keluarga tidak mampu dari er-te," ujar isteri saya agak berat malam itu.
Mendengar itu, saya sesaat menghela napas panjang. Saya menatap tajam ke isteri saya. Malam itu, saya melihat di balik mata isteri saya ada nada protes terhadap ujaran tetangga itu.
Dari sorot matanya, saya melihat isteri saya menolak terhadap saran tetangga saya itu. Tapi sebagai isteri, bagaimanapun dia harus menyampaikan uneg-uneg, atau isi hati dan pikirannya kepada saya sebagai suami.
"Terus menurut Bunda, cak mano?" kata saya, balik bertanya.
"Disatu sisi, kito pengen anak kito sekolah agama yang bagus, tapi di sisi lain, kondisi keuangan kito belum mampu," kata isteri saya.
"Terus, apo pendapat bunda samo saran tetanggo itu?"
"Kalau menurut ayah, cak mano?" isteri saya balik bertanya.
Saya sedikit menggeser temat duduk saya. Kali ini saya lebih dekat. Mata saya menatap isteri saya.