"Ini untuk kau, Lif!" Pak Herman menyerahkan dua lembar kertas merah dengan angka 100 ribu-an.
"Mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa terima ini. Terima kasih, Pak," Alif seketika berdiri dan berbalik kembai ke ruang redaksi. Panggilan Pak Herman tak dihiraukan. Alif kemudian duduk kembali di depan komputer tempat ia menulis berita.
Jantungnya berdegub kencang. Dadanya berdesir. Napasnya tak teratur. Pergulatan batinnya hampir saja memuncak. Kalimat Mas Darmanto dan pesan Mas Pardiman silih berganti melintas di benaknya.
Di ruang redaksi sudah ada beberapa wartawan yang datang. Alif mulai mengatur napas agar berlaku wajar. Alif menghela napas panjang, seperti melepas beban berat.
"Anjiing! Anjiing!" Alif mengumpat, sembari menekan beberapa huruf di keyborad komputer agak keras.Â
"Kau tu ngapo, Lif!?" Mirdan, wartawan lainnya melihat gelagat Alif tak beres.
"Idak, ini keyboard-nyo agak ngadat!" Alif mengalihkan perhatian. Tapi tak kuasa juga menahan emosi.
Alif beranjak dari duduk, masuk ke kamar mandi. Ia basuh mukanya sepuas-puasnya di depan westafel. Alif menatap mukanya sendiri di depan cermin. Kali itu, kalimat Mas Darmanto kembali melintas di benaknya.
"Wartawan itu membawa misi kenabian. Harus menulis kebenaran sesuai fakta. Itu yang namanya sifat siddiq dalam diri nabi. Harus profesional mengemban tugas dengan baik, tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi. Inilah sifat nabi yang namanya amanah. Lalu tabligh. Sampaikan apa yang harus disampaikan. Sebab kita ini penebar kabar gembira, bukan menulis berita yang membuat pembaca kisruh apalagi chaos. Terakhir fatonah. Wartawan harus cerdas luar dalam; lahir dan batin. Cerdas luar, ya banyak-banyak membaca informasi, buku dan riset. Cerdas dalam, jangan putus dengan perintah lima waktu, tambah lagi yang sunnah. Kalau kita mau mencerdaskan orang lewat berita, kita harus lebih dulu cerdas. Sebab kita tidak bisa bercerita tentang rasanya garam, kalau kita tidak pernah memakan garam!"
"Kalau ada wartawan tidak menjalankan pesan kenabian itu, namanya wartawan apa, Mas?! tanya Alif lagi.
"Wartawan apa, ya? Itu lebih tepat kita sebut wartawan nabi palsu," jawab Mas Pardiman sekenanya. Alif dan Mas Darmanto tertawa bebas.