Contoh saja; sinetron yang didalamnya menceritakan tertangkapnya seorang polisi yanag menjadi backing judi, atau tertangkapnya seorang anggota DPR yang memalsukan ijazah. Karya-karya seperti ini, sudah dapat dipastikan tidak akan lolos sensor. Sebab paradigma lembaga sensor juga masih sangat Orbais. Sehingga ketakutan dalam konteks kultur feodal itu masih sangat kentatara.
Apa yang kemudian dilakukan oleh para kreator sinematografi? Mereka terpaksa mencari "selamat", dengan menggarap mitos-mitos Walisongo, Nyi Roro Kidul dan lain sebagainya, tanpa menyadari "bahaya laten" tayangan itu terhadap nilai-nilai ilahiyah.
Ketiga; Peluang Bisnis. Sudah menjadi rahasia umum, negeri ini dihuni oleh 80 persen beragama Islam. Bagi para pebisnis sinetron, persentase ini sudah pasti menjadi peluang bisnis. Maka tanpa komando, sebagian umat islam di Indonesia kemudian terbius oleh tayangan sinetron (islami?) itu.Â
Oleh karena sinetron sifatnya monolog (satu arah), maka ketika bentuk penyesatan via sinetron itu merangsek ke rumah-rumah, sebagian umat islam menanggapinya dengan dingin. Bahkan sebagian lagi antusias, lalu meng-acungan jempol, tanpa mengkaji "bahaya laten" sinetron itu sendiri.Â
Padahal, dibalik pesan moral yang sedang ditawarkan, tayangan sinetron (islami?) itu menyimpan "duri tajam" yang siap merobek aqidah dan ke-tauhidan umat Islam. Oleh sebab itu, keberhati-hatian dalam memilih tontonan yang dapat menjadi tuntunan juga menjadi bagian tanggungjawab setiap kita.
Keempat; pemahaman terpenggal. Pemahaman "islami" yang terpenggal, juga sebagai akibat munculnya sinetron islami yang menyesatkan. Kalimat "Islami", sebuah kata yang seharusnya memerlukan penelitian ulang, sehingga kata "islami" ini tidak disalah-artikan. Â Sebab, memaknai "islami" dengan pandangan satu arah, justeru dapat mencerabut esensi dari ajaran agama Islam itu sendiri. Diantara sineas, para pelaku seni yang mencantumkan lebel "Islami" ini, sepertinya tidak memahami kedalamannya, sehingga yang muncul adalah karya yang "krisis ideologi" untuk selanjutnya membiaskan pesan moral dari ajaran islam itu sendiri.
Dalam konteks ini, ada sebuah pertanyaan yang dapat menjadi bahan renungan bagi setiap kita. Sinetron "Islami"; apakah sebuah tayangan yang mesti mengangkat kisah-kisah sahabat rasul, Walisongo, dan pemainnya berjilbab, atau dalam dialognya harus ada "kalimat Tuhan", dengan melibatkan pemain non Islam? Atau Islami dalam konteks ini lebih mengedepankan pada pesan dan muatan nilai, bukan pada "islam simbol"?
Kalau pemahaman ini saja tidak selesai, maka sudah dapat dipastikan, sebagian sineas muslim atau bahkan dai dan kiai yang "berkelas" sekalipun, telah salah memahami kalimat "Islami". Sebab, Islam bukan pada simbol-simbol kebudayaan semata, seperti jilbab, kubbah masjid, sorban, peci, sajadah, tasbih, melainkan lebih dari itu, Islami ; berarti perilaku, bukan saja gerak fisik tetapi juga gerak batin, yang kemudian mewujud dalam tingkah laku dalam keseharian, tanpa harus mengedepankan tasbih, sorban, peci dan sejenisnya itu. Pemahaman terhadap "Islami" yang terpenggal inilah yang kemudian melahirkan sebuah karya sinetron, yang bukan saja membiaskan makna kedalaman ajaran Islam, melainkan jauh lebih berbahaya dari itu, wajah sinetron yang disebut-sebut Islami, malah cenderung melakukan "kampaye" pendangkalan tauhid dan aqidah.
Kemana ulama?
Ditengah penjajahan kebudayaan seperti ini, yang membuat saya bertanya adalah, kemana para ulama, ustdaz, kiai, aktifis Islam, atau partai islam yang mengaku lembaga yang paling bermoral sekalipun?  Kemana mereka? Dulu ketika Inul mengampanyekan goyang ngebor, jutaan manusia  yang mengaku aktifis Islam menyeruak protes. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sampai melarang Inul tampil di depan publik. Sementara para koruptor tidak pernah mendapat fatwa larangan untuk tampil di gedung perlemen menjadi wakil rakyat.
Memang, ini bukan hanya tanggungjawab para ulama, melainkan tanggungjawab kita bersama, untuk bersatu memadukan niat baik, untuk kemudian melakukan counter budaya. Solusinya, aktifis Islam harus bisa menulis naskah sinetron, menyutradarai. Umat islam juga harus memiliki televisi yang berkelas, islam juga harus menguasai alat produksi, sehingga "ajaran sesat" dari manapun datangnya dapat diantisipasi.Â