Ustadz = Si Pitung?
Ditambah lagi, figur seorang ustadz dan kiai disimbolkan sebagai penyelesai akhir dari sebuah persoalan. Kalau penyelesaian akhir adegan ini kemudian dengan rasionalitas dan melalui pendekatan ketauhidan dalam konteks sosial, sedikit banyak dapat memberikan pencerahan. Namun yang muncul dilayar kaca adalah; kiai dan ustadz tak lebih sebagai "si pitung" yang selalu menyelesaikan persoalan dengan perkelahian, kekerasan. Adegan laga dalam tayangan sinetron boelh saja terjadi. Tetapi memunculkan sosok ustadz dan kiai dengan menggunakan sorban dan tasbih untuk memerangi syetan, juga menjadi bagian dari proses penyesatan nilai-nilai ketuhanan bulat-bulat terhadap anak bangsa ini.
Ironisnya, hampir di setiap sinetron (islami?) itu beberapa sosok ustadz yang "berkelas" sering menjadi penggagas, konsultan atau sebagai penasehat. Lha kalau ustadz dan kiai-nya saja sudah menjadi backing sinetron islami yang menyesatkan seperti itu, apa sikap ini tidak lebih menjadi bahaya laten, ketimbang aparat dan pejabat yang menjadi backing judi dan pencurian kayu? Â Kalau judi dan mencuri kayu mungkin hanya kerugian fisik. Lha kalau "sinetron sesat", Â dampaknya jelas pada mentalitas generasi bangsa ini.
Dalam tulisan ini, paling tidak ada beberapa hal yang sepertinya layak dijadikan bahan renungan---sekalaigus sebagai jawaban, kenapa wajah sinetron (islami?) di Indonesia terjebak pada dunia klenik dan mistik.
Pertama; Tradisi ketimuran. Dalam konteks ke-Indonesiaan kita memang tidak lepas dari dunia mistik dan klenik. Menjadi sebuah kebiasaan dalam tradisi Jawa, jika setiap malam 1 Suro (1 Muharram) ada saja kegiatan mistik yang dilakukan, seperti mencuci keris dengan air yang diurai dengan kembang tujuh warna, persembahan kepada Nyi Roro Kidul, yang dipercayai sebagai Ratu Laut Selatan, juga masih terus menjadi fenomena yang sulit dihapus.Â
Dalam konteks per-sinetron-an, kita juga disuguhi tayangan film "Sunan Kalijaga" tahun 80-an atau film sejenis, yang mendepankan "karomah", (ke-istimewaan yang diberikan kepada seseorang karena kedekatannya kepada Tuhan), kemudian menjadi legitimasi kalau setiap ustadz dan kiai juga memiliki "kekuatan" sama dengan Walisongo.Â
Tidak salah memang, jika diantara sekian banyak ustdaz dan kiai juga masih ada yang mendapat "karomah" itu. Tetapi mengemas "karomah" dengan adegan kekerasan dan menggunakan tasbih dan sorban sebagai sarana untuk mengusir syetan, sangat terbuka lebar menciptakan opini, betapa tasbih dan sorban kiai dan ustadz-lah yang sakti madraguna. Disinilah secara tidak disadari, tayangan ini sedang malakukan "pembunuhan" terhadap nilai-nilai ke-tauhidan dan aqidah.
Mirza adalah salah satu korban dari "keracunan" sinteron Islami itu. Dan bukan tidak mungkin jika sebagian umat kita juga sudah terjangkiti wabah ini, maka sinetron (islami?) kita sudah menjadi "bahaya laten", yang seharusnya segara diluruskan (bukan dilarang). Sebab melarang tayangan sinetron tanpa memberikan solusi, juga menjadi bagian dari "penjajahan" terhadap hak ekspresi setiap orang.
 Intinya, "bahaya laten" sinetron (islami?) itu seharusnya sudah mulai menjadi perhatian serius semua pihak. Sebab, tanpa ada kritik, maka anak-anak bangsa ini akan terjebak dalam kepercayaan terhadap selain Sang Pencipta.
Membiarkan generasi bangsa ini terlarut dalam "kedangkalan tauhid", maka sama saja kita sedang mebiarkan anak-anak bangsa ini kehilangan pegangan hidup. Yang timbul kemudian bukan keyakinan terhadap Dzat yang serba Maha, melainkan melahirkan generasi "cilandak" alias cinta ditolak dukun bertindak, yang percaya kekuatan mistik tasbih, peci dan sorban. Naudzubillah.
Kedua; Proses Politik. Terjadinya pergesaran nilai-nilai kebaikan kepada penyesatan dalam konteks sinetron kita, juga sebagai akibat proses politik di Indonesia, yang cenderung "melarang" tayangan sinetron bermuatan "kritis". Hampir setiap tahun ada saja karya para sineas kita yang dilarang tayang, karena dinilai akan mengganggu stabilitas nasional.Â