Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Datuak

7 November 2012   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh hari kemudian, acara palewaan gelar datuak itu digelar juga. Burhan terkesan dengan banyaknya orang yang ikut meramaikan alek tersebut. Padahal, kaum mereka jumlahnya tak banyak, bahkan mungkin tak sampai 20 orang. Tapi lihatlah mereka yang datang meramaikan. Hampir seluruh orang di kampung itu. Mereka mengelu-elukan Burhan dan istrinya. Ketika Burhan dan panungkeknya lewat di jalanan utama kampung, ribuan kembang ditebar orang di atas kepala mereka. Benar-benar meriah. Burhan dan Mirna merasa sangat tersanjung. "Benar juga kata orang dik, kalau sudah kaya, jangankan menyelenggarakan pesta makan, terkentut pun dipuji orang," bisik Burhan ke istrinya, yang tak henti-hentinya tersenyum senang.

Malamnya di rumah gadang kaum Burhan sudah berkumpul Pendi dan gangnya. Setelah puas tertawa-tawa dan saling puji sampailah pada pokok pembicaraan selanjutnya.

"Orang parpol itu minta Rp750 juta da, bagaimana kira-kira? Dengan uang segitu Uda sudah pasti mendapatkan nomor urut satu," Pendi memulai.

Burhan mendehem. Mirna menyikutnya. Menyuruh OK kan saja lewat kode matanya.
"Hmm, aku kira Rp500 juta sudah cukup, apakah ada lawan yang cukup kuat," ujar Burhan mencoba nego.

"Lawan sih tidak, cuma nggak enak juga kita menawar-nawar, apalagi dengan posisi Uda sekarang," kata Pendi.

"Kau usahakanlah, kurasa Rp500 juta sudah cukup banyak."
"Uda ni bagaimana? Jangan sampai ndak dapat pula kursi tu," berungut Mirna.
"Tenanglah Dik, kurasa mereka takkan menolak."
"Biarlah saya coba kontak orang tu dulu," ujar Pendi mengalah.
Dia ke halaman, menelpon. Sekitar setengah jam dia balik lagi.
"Mereka keberatan, tapi saya bilang, kalau tidak mau ya sudah kami ke partai lain saja, pasti banyak yang mau Datuak kami jadi caleg mereka," katanya.
Burhan lega. Kalkulasinya pas.
"OK, besok kau ikut aku ke Pekanbaru, ambil uangnya. Sudah kau minta nomor rekeningnya?"
"Beres Da."

Besoknya rombongan itu berangkat pulang ke Pekanbaru. Burhan dan istri tak henti-hentinya tersenyum lebar kepada siapa saja. Pelayan warung sate di Padangpanjangpun disenyuminya dan diberi tip Rp100.000. Bayangan akan menjadi caleg semakin nyata di kepalanya. Burhan gala Datuak Mandaram Bumi, wui sungguh keren dan berwibawa, apalagi kalau sudah duduk di DPRD, weiw, rasanya tak kan ada yang secoga dia.

Sesampai di Pekanbaru segera di transfernya uang Rp500 juta ke rekening yang diberikan Pendi.
"Nah sudah ditransfer, secepatnya kau kabari aku, apa langkah selanjutnya," katanya. Pendi buru-buru mengangguk. "Beres Uda."

"Hari ini Uda Pendi menginaplah di rumah, kita pesta ayam bakar," timpal Mirna dengan senyuman yang jauh lebih manis dari senyumnya yang kemarin.

"Terima kasih Dik Mirna, tapi semakin cepat saya urus posisi Uda Burhan, rasanya akan lebih baik, jadi saya pulang sajalah."

Pendi pun pamit pulang.
Itulah hari terakhir mereka melihatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun