Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Datuak

7 November 2012   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mereka pemalas, taunya menadahkan tangan saja, dulu waktu kita dalam keadaan sulit, mana ada mereka yang membantu? Malah melecehkan dan menghina. Apa Uda sudah lupa? Jadi, kita tak punya utang apapun pada mereka," katanya pada suaminya setiap kali. Burhan setuju-setuju saja. Dia takut pada istrinya. Lagipula, dia merasakan kebenaran ucapan perempuan yang telah 15 tahun dinikahinya itu. Orang kampung memang tak pernah membantu, mereka hanya pernah menghina dan merendahkannya, meski setelah Burhan kaya mereka bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dan selalu mengharapkan kemurahan hatinya.

Burhan seorang pengusaha barang bekas yang sukses. Omzetnya kini mencapai milyaran rupiah sebulan. Meski mitra kerjanya hanya para pemulung, Burhan punya ribuan pemulung yang siap memasoknya. Ini membuat posisinya sangat bagus di mata kalangan pabrikan yang bergerak di sektor industri daur ulang. Kekayaan itu juga membuat pergaulan Burhan melebar, sampai ke Kapolda, Danrem, Gubernur, Walikota, Bupati dan seterusnya. Boleh dikata dia selalu diundang kalau ada hajatan besar di provinsi, dan selalu menyumbang tentunya.

Sebenarnya sudah banyak tawaran dari partai-partai politik di rantau ini untuk menjadikannya caleg, tapi Burhan selalu menampik. Soalnya kompensasi yang mereka minta terlalu besar, tidak seimbang menurut kalkulasi Burhan. Masalahnya, kata salah satu ketua partai politik itu, yang berminat juga banyak dan mereka sanggup memenuhi permintaan partai. "Ala, masak Rp2 M banyak menurut Pak Burhan, geleng saja tuh bagi Bapak," ketua partai itu kembali merayu. Tapi Burhan sudah tak mau. "Rp2 M? Mendingan kuputar lagi!" dengus Burhan. Apalagi dana sebesar itu tak membuatnya terdaftar sebagai calon jadi.

Tapi Burhan sangat ingin jadi anggota dewan. Kalau bisa malah walikota atau gubernur sekalian, namun Burhan sadar popularitasnya masih jauh. Makanya, tawaran dari orang-orang kampung ini sangat menarik minatnya. Burhan berhitung, kalau di sini partai minta Rp2 milyar, di kampungnya Rp500 juta pasti sudah sangat banyak. Dia akan jadi caleg emas partai tersebut, pasti jadi. Wah, angan-angannya langsung terbang ke langit ketujuh. Terbayang penghormatan masyarakat dan pandangan kagum dari mereka yang akan diterimanya setiap hari...

***

"Uda harus dilewakan dulu jadi datuak," kata Pendi menekankan.
"Untuk apa, bukankah uang saja sudah cukup?"
"Oooo tidak Da, kurang marwahnya tuh. Kalau Uda jadi datuak, pamor Uda akan lebih tinggi. Perhatian orang akan langsung terbetot. Jadi, sosialisasinya lebih gaya, lebih cepat memasuki memorti orang, sehingga nanti ketika Uda masuk daftar caleg, nama dan sosok Uda benar-benar sudah melekat di hati dan benak masyarakat."

"Ah, yang memutuskan jadi tidaknya kan partai, bukan suara orang banyak, aturan mainnya kan nomor urut. Kalau aku bayar kompensasinya, mereka kan harus mematikan aku di nomor urut satu. Semua suara yang terkumpul, termasuk sisa suara akan dilimpahkan kepadaku, untuk apa harus jadi datuak segala? Kan buang-buang uang saja," dengusnya.

"Pendapat Uda itu benar, tapi gaungnya akan lain, kalau Uda lebih dulu jadi datuak dan kemudian jadi anggota dewan, wah, kami yakin Uda benar-benar akan dielu-elukan masyarakat sebagai calon yang benar-benar memenuhi syarat, diletakkan di nomor jadi dan banyak pula meraup suara, bukankah dengan demikian kemenangan Uda akan benar-benar sempurna?" Pendi masih berusaha. Teman-temannya memberikan argumen senada.

Burhan masih ragu. Tapi Mirna tidak. "Saya rasa Uda Pendi tu benar Uda, gaungnya benar-benar akan beda!" katanya. Lalu diperintahkannya Juli menyiapkan makan siang. "Uda-uda nginap di mana? Menginap di sini saja, supaya bisa kita matangkan rencananya. Kamar kami cukup banyak, bisa menampung Uda semua," kata perempuan itu lancar. Matanya berbinar-binar. Juli diperintahkan menyiapkan tiga kamar untuk para tamunya, sehingga kerut di kening pembantu itu tambah banyak. "Mimpi apa ya Ibu semalam?" katanya dalam hati.

***

Dua hari kemudian Pendi dan kawan-kawan pulang. Mereka membawa Rp100 juta untuk menyiapkan segalanya. "Alek datuak ini harus benar-benar besar, kalau perlu kerbaunya dua," kata Mirna mewanti-wanti. Pendi menangguk-angguk takzim. Belum pernah dia memegang uang sebanyak itu, jadi dia main cepat saja, mengangguk sebanyak-banyaknya. "Ya akan beri kabar secepatnya," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun