Rekomendasi kebijakan jangka pendek lain yang penulis usulkan adalah reformulasi PP/68 tahun 2014 tentang penataan wilayah pertahanan yang nantinya akan mengatur rencana zonasi antara kawasan Laut Natuna dan Laut Natuna Utara. Mengutip dari Direktur Perencanaan Wilayah Pertahanan, Laksamana Pertama TNI Idham Faca bahwa penataan wilayah pertahanan meliputi perencanaan wilayah pertahanan, pemanfaatan wilayah pertahanan, dan pengendalian pemanfaatan wilayah pertahanan. PP ini dibuat sebelum konflik di Laut Natuna Utara memanas, sehingga aturan yang ada belum bisa mengatasi konflik yang terjadi. Formulasi PP ini harus mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi Indonesia dengan pertahanan dan keamanan di wilayah Natuna, termasuk pengaturan ketika pihak eksternal memasuki wilayah ini dan mengambil pemanfaatan secara ilegal.
Sebagai rekomendasi kebijakan jangka panjang, Indonesia harus segera merampungkan pembangunan pangkalan militer di wilayah perairan Natuna Utara di garis ZEE terluar. Pangkalan militer ini harus berfungsi untuk pertahanan dan keamanan, tempat pasukan militer penjaga bertugas, sekaligus kota singgah untuk para nelayan maupun kru yang bertugas di perairan. Sebagai negara maritim, memiliki pangkalan militer yang memadai untuk menampung berbagai jenis kapal besar, menjadi area pengawasan dan fasilitas pengembangan lain untuk pertahanan dan keamanan adalah sebuah keharusan.
Meskipun rencana pembangunan pangkalan militer ini telah diusung sejak 2016, tetapi setiap tahun anggaran pertahanan yang khusus dialokasikan untuk hal ini melalui Bakamla (Badan Keamanan Laut) terus menurun seperti laporan dari Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI 2021. Progres dari pembangunan pangkalan militer ini pun tidak lagi menjadi berita nasional, sehingga transparansinya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat. Â Tentu saja tidak mudah dan anggaran yang harus dikeluarkan untuk pembangunan pangkalan militer akan menyentuh angka fantastis, tapi jika dilakukan secara bertahap dan menjadi prioritas pada setiap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RJPN), maka tidak mustahil Indonesia memiliki pangkalan militer seperti yang dimiliki China di LCS. Dalam 10-20 tahun mendatang, Indonesia akan memiliki identitas negara maritim dengan sistem pertahanan militer di perairan yang kuat dan membuat negara lain tidak sewenang-wenang di wilayah perairan Indonesia.
Salah satu problematika lain dari laporan yang diterbitkan Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI 2021 adalah Bakamla belum berfungsi secara optimal. Maka hal ini juga menjadi kebijakan yang harus dijadikan prioritas, terutama fungsi Bakamla yang bertugas di perairan Natuna. Dengan sumber daya manusia Indonesia yang melimpah, pemerintah bisa melakukan wajib militer bagi para pemuda (usia angkatan kerja) Indonesia terutama masyarakat sekitar yang nantinya akan ditempatkan di pangkalan militer Natuna. Melakukan wajib militer kepada masyarakat seperti yang dilakukan Korea Selatan maupun Utara tentu tidak semudah melakukan kemah pramuka, tetapi kebijakan dari negara ini bisa diadaptasi mengingat kebutuhan pasukan militer Indonesia yang begitu tinggi. Sehingga, pemerintah seharusnya dapat mengeliminasi permasalahan dari kekurangan pasukan militer dengan mengambil dari sumber daya manusia yang tersedia.
Indonesia memasuki era kepemimpinan baru, dengan seorang presiden yang berlatar belakang militer. Tentu saja, Presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto, sangat paham begitu krusialnya isu keamanan dan pertahanan di wilayah Natuna, karena hal ini telah menjadi salah satu fokus utama saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pertahanan periode 2019-2024. Maka, kebijakan untuk memperkuat sistem pertahan militer di perairan Natuna menjadi lebih mungkin dilakukan sebagai upaya sekuritisasi untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H