Mohon tunggu...
Impiani Fil Husni
Impiani Fil Husni Mohon Tunggu... Wiraswasta - International Relations Enthusiast | Instructional Designer

A textrovert who wildly sees the world and put it into the words.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekuritisasi Laut Natuna Utara, Jaga Kedaulatan Indonesia

23 Mei 2024   00:41 Diperbarui: 23 Mei 2024   00:42 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian kesepakatan lain yang telah ditempuh oleh claimant state melalui forum regional ASEAN antara lain; Declaration of Conduct on the South China Sea tahun 1992, Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) tahun 2002, Guideline for the Implementation of the DoC tahun 2011, hingga Code of Conduct in the South China Sea (CoC). Semua isi kesepakatan tersebut adalah mekanisme operasional terkait pencegahan konflik sampai dengan peraturan bagaimana claimant state berperilaku di kawasan LCS. Tetapi hal yang harus digarisbawahi semua kesepakatan ini hanya produk kesepakatan dalam hukum internasional dan bukan hukum yang mengikat (non-legally binding).

Maka, tidak heran bahkan setelah kesepakatan ini dibuat, pelanggaran terus dilakukan China di kawasan LCS yang bersengketa. Diplomasi dan serangkaian kesepakatan yang ada hanyalah jalan China untuk meredam isu di perairan agar tidak mencuat menjadi permasalahan nasional, regional bahkan internasional.

Bukti lain bahwa diplomasi gagal mendamaikan konflik LCS adalah insiden pada 20 Maret 2016, saat kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 milik China kembali memasuki kawasan perairan Natuna. Indonesia mengirim kapal pengawas perikanan Hiu 11 untuk menangkap kapal ikan China, tetapi digagalkan oleh kapal patroli China yang melindungi kapal ilegal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku China sama sekali tidak menghormati kesepakatan yang telah dibuat.

Sederet kasus lain yang menunjukkan bahwa diplomasi tidak mampu menghentikan pelanggaran China adalah insiden 19 desember 2019. Kapal ikan milik China kembali masuk perairan Natuna dan melakukan kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU). Sangat disayangkan, Menteri Pertahanan dan Menko Maritim dan Investasi pada era tersebut, menganggap hal ini adalah hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Respon dari menteri-menteri tersebut diduga karena Indonesia dan China memiliki kerja sama ekonomi yang sangat kuat dan tidak ingin permasalahan di Natuna mengganggu hubungan tersebut.

Hal ini mencerminkan bahwa ada pertentangan antara apa yang diupayakan di forum perdamaian dengan realita di lapangan. Indonesia memang memiliki serangkaian kerja sama ekonomi yang masif dengan China. Seperti di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China telah mengalirkan dana investasi ke Indonesia mencapai US$3,31 miliar melalui 1.888 proyek, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2019. Seolah tidak ingin merugi, Indonesia seolah membuat posisi China akan tetap aman dalam sengketa kawasan LCS.

Perilaku China yang mengklaim diri sebagai pemegang otoritas penuh kawasan LCS kembali terlihat pada insiden pada Agustus tahun 2021. China meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran di laut Natuna. China kemudian melayangkan 2 nota diplomatik perihal pengeboran dan latihan militer bersama Super Garuda Shield di kawasan tersebut.

Padahal tertuang dalam UNCLOS bahwa batas-batas ZEE telah ditetapkan dari setiap negara. Konsekuensi dari penetapan batas ZEE adalah hak melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional. Secara landasan hukum internasional yang legal, Indonesia melakukan pengeboran atau aktivitas eksploitasi sumber daya alam di wilayah yang sah dan berdaulat.

Di sisi lain, China dengan klaim nine-dash line di LCS tidak menghormati kedaulatan wilayah negara Indonesia. Karena seluruh klaim maritim yang diajukan China ini sudah ditolak oleh putusan pengadilan di Den Haag dan komunitas internasional secara keseluruhan. Perilaku China yang cenderung semena-mena di wilayah perairan menjadi alasan mengapa Indonesia harus melakukan upaya pengamanan yang lebih masif untuk melindungi potensi alam dan kepentingan strategis di perairan Natuna.

 

Potensi dan Urgensi Laut Natuna Utara

Indonesia yang secara geografis terdiri dari 70% lautan, menjadikannya sebagai negara maritim. Hal ini berarti 70% potensi sumber daya alam Indonesia seharusnya berasal dari laut. Potensi ini tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, termasuk perairan Natuna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun