"Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya"
Beberapa hari lalu saya terkesiap melihat link sebuah polling yang dikirimkan seorang teman. Ya, saya terkejut karena isinya adalah polling yang dibuat Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman, berkaitan dengan pencapaian pemerintah terutama di sektor maritim.
Bukan bermaksud menggurui, sayapun bukan seorang sarjana statistik, tetapi polling yang dibuat KemenkoMar itu terlalu sederhana, naif dan tidak berkelas. Mengapa begitu? Karena ide pembuatan polling disaat tidak lama setelah Presiden mengumpulkan para penggiat media sosial di Istana Negara dengan arahan agar dapat membantu mensosialisasikan pencapaian pemerintah dan bertepatan dengan momentum tiga tahun pemerintahan, sarat dengan kemungkinan terjadinya pengorganisiran opini melalui polling tersebut.
Saya tidak ingin berprasangka buruk. Tetapi saya akan menyampaikan kritik, untuk kesekian kalinya, bahwa pencapaian pemerintah didalam bidang maritim masih jauh panggang dari api, tidak mengena. Dan membuat polling sama sekali tidak memiliki signifikansi dengan membangun kesadaran maritim. Â
Sesuai petikan lirik lagu Kebangsaan kita Indonesia Raya, diatas, sesungguhnya persoalan tidak tepat sasarannya kebijakan maritim nasional disebabkan oleh tidak adanya KESADARAN masyarakat tentang apa itu maritim, apa bedanya maritim dengan laut, kenapa ada Visi Indonesia Poros Marirtim Dunia dan mengapa harus program nasional Tol Laut yang dijalankan.
Dalam masyarakat bangsa yang belum tersadarkan tentang arti penting maritim, maka mustahil kita dapat membangun jiwa maritim, sebuah pemahaman tentang maritim yang menyatu dalam darah dan semangat kebangsaan yang utuh. Tanpa jiwa maritim, maka kebijakan maritim yang hanya bersandarkan kepada pembangunan fisik adalah bangunan ringkih tanpa fondasi yang kokoh, selayaknya tubuh tak berjiwa, kosong dan mudah terombang-ambing.
Sudah sejak beberapa waktu lalu, sejak tulisan saya tentang adanya ancaman Visi Poros Maritim terancam gagal pada tanggal 1 Agustus 2016, kurang dari sebulan saya bebas dari 'hotel prodeo' akibat kriminalisasi, Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang sama dalam sebuah acara di Danau Toba, Sumatera Utara. Di harian Kompas tanggal 31 Agustus 2016, Presiden menyatakan bahwa Visi Poros Maritim Terancam Gagal. Bukankah itu kebetulan? Atau Presiden merasakan kegalauan yang sama dengan saya tentang perjalanan maritim nasional kita?
Tidak lama setelah statemen Presiden tersebut, dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas, juga dinyatakan bahwa Visi Poros Maritim dipandang tidak memiliki strategi yang jelas. Tak kurang, mantan Presiden SBY juga menyampaikan perihal yang sama dengan mengatakan bahwa Visi Poros Maritim hanyalah retorika semata.
Jika melihat fakta dan kenyataan, maka kegalauan saya, Presiden, Lemhanas ataupun SBY adalah perasaan yang berdasar. Tidak terbangun sebuah JIWA MARITIM dalam dada setiap pemangku kebijakan di negeri ini. Mereka melihat Visi Poros Maritim Jokowi hanyalah sebuah agenda kerja biasa, sebuah perintah. Karena itulah pelaksanaannya dijalankan tanpa 'soul', tidak berjiwa. Dalam kondisi tersebut, lalu muncul oknum-oknum yang berselancar meraup untung dari pembangunan-pembangunan infrastruktur maritim, yang dalam istilah saya adalah pembangunan badan maritim. Â
Pada bulan September 2016, berdasarkan fakta tersebut diatas, saya dan kawan-kawan mendirikan Gerakan Nasional Sadar Maritim, National Maritime Awareness Movement, sebuah organisasi presidium yang didalamnya terdiri dari berbagai organ kemaritiman yang memiliki pandangan yang sama terkait diperlukannya sebuah gerakan kesadaran dalam bidang maritim. Tak kurang dari Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI), Marine Nusantara, Jaringan Aksi Kemandirian Nasional (JAMAN), PB-HMI Bidang Kemaritiman, Jurnal Maritim dan beberapa individu yang sepaham, ikut bersama-sama dalam gerakan ini.
Pada saat itu, keyakinan utama kami mengapa Visi Poros Maritim berjalan lambat dan menciptakan banyak anomali adalah dikarenakan tidak adanya kesadaran maritim masyarakat bangsa. Masyarakat tidak diberikan pemahaman utuh, mengapa perlu ada Visi Indonesia Poros Maritim Dunia, mengapa harus ada program Tol Laut. Apa tujuan dan nilai yang hendak dicapai oleh keduanya secara empiris, historis, filosofis dan ideologis. Jika saja kesadaran tentang arti penting maritim tersebut sudah tersemai dalam kalbu masyarakat bangsa ini, maka dapat dipastikan setiap pengambil kebijakan maritim nasional melandaskan kepurtusannya kepada sebuah garis lurus utuh kepentingan nasional yang tentu saja akan didukung dengan rasa berkhidmat oleh seluruh rakyat Indonesia.