Mohon tunggu...
Politik

Kesadaran Maritim, Faktor Utama Penghambat Indonesia Poros Maritim Dunia

6 September 2017   11:41 Diperbarui: 6 September 2017   12:18 3422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya"

Beberapa hari lalu saya terkesiap melihat link sebuah polling yang dikirimkan seorang teman. Ya, saya terkejut karena isinya adalah polling yang dibuat Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman, berkaitan dengan pencapaian pemerintah terutama di sektor maritim.

Bukan bermaksud menggurui, sayapun bukan seorang sarjana statistik, tetapi polling yang dibuat KemenkoMar itu terlalu sederhana, naif dan tidak berkelas. Mengapa begitu? Karena ide pembuatan polling disaat tidak lama setelah Presiden mengumpulkan para penggiat media sosial di Istana Negara dengan arahan agar dapat membantu mensosialisasikan pencapaian pemerintah dan bertepatan dengan momentum tiga tahun pemerintahan, sarat dengan kemungkinan terjadinya pengorganisiran opini melalui polling tersebut.

Saya tidak ingin berprasangka buruk. Tetapi saya akan menyampaikan kritik, untuk kesekian kalinya, bahwa pencapaian pemerintah didalam bidang maritim masih jauh panggang dari api, tidak mengena. Dan membuat polling sama sekali tidak memiliki signifikansi dengan membangun kesadaran maritim.  

Sesuai petikan lirik lagu Kebangsaan kita Indonesia Raya, diatas, sesungguhnya persoalan tidak tepat sasarannya kebijakan maritim nasional disebabkan oleh tidak adanya KESADARAN masyarakat tentang apa itu maritim, apa bedanya maritim dengan laut, kenapa ada Visi Indonesia Poros Marirtim Dunia dan mengapa harus program nasional Tol Laut yang dijalankan.

Dalam masyarakat bangsa yang belum tersadarkan tentang arti penting maritim, maka mustahil kita dapat membangun jiwa maritim, sebuah pemahaman tentang maritim yang menyatu dalam darah dan semangat kebangsaan yang utuh. Tanpa jiwa maritim, maka kebijakan maritim yang hanya bersandarkan kepada pembangunan fisik adalah bangunan ringkih tanpa fondasi yang kokoh, selayaknya tubuh tak berjiwa, kosong dan mudah terombang-ambing.

Sudah sejak beberapa waktu lalu, sejak tulisan saya tentang adanya ancaman Visi Poros Maritim terancam gagal pada tanggal 1 Agustus 2016, kurang dari sebulan saya bebas dari 'hotel prodeo' akibat kriminalisasi, Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang sama dalam sebuah acara di Danau Toba, Sumatera Utara. Di harian Kompas tanggal 31 Agustus 2016, Presiden menyatakan bahwa Visi Poros Maritim Terancam Gagal. Bukankah itu kebetulan? Atau Presiden merasakan kegalauan yang sama dengan saya tentang perjalanan maritim nasional kita?

Tidak lama setelah statemen Presiden tersebut, dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas, juga dinyatakan bahwa Visi Poros Maritim dipandang tidak memiliki strategi yang jelas. Tak kurang, mantan Presiden SBY juga menyampaikan perihal yang sama dengan mengatakan bahwa Visi Poros Maritim hanyalah retorika semata.

Jika melihat fakta dan kenyataan, maka kegalauan saya, Presiden, Lemhanas ataupun SBY adalah perasaan yang berdasar. Tidak terbangun sebuah JIWA MARITIM dalam dada setiap pemangku kebijakan di negeri ini. Mereka melihat Visi Poros Maritim Jokowi hanyalah sebuah agenda kerja biasa, sebuah perintah. Karena itulah pelaksanaannya dijalankan tanpa 'soul', tidak berjiwa. Dalam kondisi tersebut, lalu muncul oknum-oknum yang berselancar meraup untung dari pembangunan-pembangunan infrastruktur maritim, yang dalam istilah saya adalah pembangunan badan maritim.  

Pada bulan September 2016, berdasarkan fakta tersebut diatas, saya dan kawan-kawan mendirikan Gerakan Nasional Sadar Maritim, National Maritime Awareness Movement, sebuah organisasi presidium yang didalamnya terdiri dari berbagai organ kemaritiman yang memiliki pandangan yang sama terkait diperlukannya sebuah gerakan kesadaran dalam bidang maritim. Tak kurang dari Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI), Marine Nusantara, Jaringan Aksi Kemandirian Nasional (JAMAN), PB-HMI Bidang Kemaritiman, Jurnal Maritim dan beberapa individu yang sepaham, ikut bersama-sama dalam gerakan ini.

Pada saat itu, keyakinan utama kami mengapa Visi Poros Maritim berjalan lambat dan menciptakan banyak anomali adalah dikarenakan tidak adanya kesadaran maritim masyarakat bangsa. Masyarakat tidak diberikan pemahaman utuh, mengapa perlu ada Visi Indonesia Poros Maritim Dunia, mengapa harus ada program Tol Laut. Apa tujuan dan nilai yang hendak dicapai oleh keduanya secara empiris, historis, filosofis dan ideologis. Jika saja kesadaran tentang arti penting maritim tersebut sudah tersemai dalam kalbu masyarakat bangsa ini, maka dapat dipastikan setiap pengambil kebijakan maritim nasional melandaskan kepurtusannya kepada sebuah garis lurus utuh kepentingan nasional yang tentu saja akan didukung dengan rasa berkhidmat oleh seluruh rakyat Indonesia.

Contoh pertama adalah berapa dari kita yang sadar bahwa sampai hari ini, dengan mendeklarasikan bangsa kita sebagai bangsa maritim, siapakah sesungguhnya pelaku sea and coast guard Indonesia? Sebuah prasyarat sebuah negara maritim adalah adanya sebuah institusi sea and coast guard. Sampai hari ini masih terjadi tumpang tindih tupoksi berkait dengan fungsi sea and coast guard antara Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) yang berada dibawah Kementerian Perhubungan. Siapakah sesungguhnya Indonesia Sea and Coast Guard kita? Dalam catatan International Maritime Organization (IMO), tercatat perwakilan Indonesia Coast Guard adalah KPLP, lalu Bakamla untuk apa diadakan?

Anomali lainnya adalah terkait ironi kolaps-nya hampir semua perusahaan pelayaran niaga swasta dan juga pemerintah. Padahal Tol Laut bicara tentang "Sustainable Shipping", sebuah kegiatan pelayaran niaga yang berkelanjutan. Apa yang salah? Banyak pihak mengatakan bahwa kondisi itu terjadi akibat "over-supply" nya kapal-kapal pengangkut barang, yang katanya tidak sesuai dengan masih minimnya barang yang diangkut, dengan kata lain kegiatan niaga dan distribusi barang belum terjadi akibat masih lambatnya pembangunan industrialisasi di beberapa tempat di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah sebelum Tol Laut ini dikumandangkan, tidakkah seharusnya dilakukan pemetaan yang jelas dan terukur tentang ketersediaan kapal niaga yang ada di Indonesia.

Contoh yang ketiga adalah persoalan perikanan kita yang sepanjang dipimpin kementeriannya oleh Susi Pujiastuti, mengalami banyak kemajuan berarti. Ditengah hempasan politik yang dialami oleh Susi, banyak masyarakat yang akhirnya menyadari bahwa apa yang telah diputuskan oleh Susi adalah dalam kerangka besar mempertahankan kedaulatan bangsa, menegakkan marwah Indonesia dan memberikan upaya jaminan ketersediaan ikan bagi nelayan nasional. Upaya tekanan politik terhadap Susi akhirnya dihadapkan pada masyarakat yang sadar, tetapi itu adalah buah karya Susi seorang, yang didukung oleh para pihak yang bersimpati kemudian melakukan kontra opini terhadap tekanan politik yang justru dilakukan oleh partai pendukung pemerintah dan pejabat negara.

Berdasarkan ketiga contoh tersebut, maka layaklah saya menyatakan bahwa kita belum siap ber-maritim, karena maritim di tiga tahun pemerintahan Jokowi masih merupakan retorika bermandikan pembangunan fisik, tidak menyentuh pembangunan jiwa maritim yang bersandarkan kepada kesadaran yang bulat utuh pada perihal maritim dan manfaatnya bagi bangsa dan negara. Layaklah saya katakan bahwa kesadaran maritim adalah penghambat utama Visi Indonesia Poros Maritim Dunia, jika para pengambil kebijakan maritim nasional mengalami fase gagal paham maritim akibat terkejut, gagap maritim. 

Layaklah saya mengatakan bahwa kesadaran maritimlah yang membuat tidak juga munculnya inisiatif pembangunan demand-suplai berbasis potensi lokal di daerah-daerah, karena yang terbersit oleh banyak dari mereka adalah dibangunnya industri-industri nasional berskala besar, yang tak kunjung hadir seperti menunggu Godot. Layaklah saya katakan kesadaran maritim yang kering dan miskin adalah penyebab masih banyaknya pungli, korupsi dan mental penindas dikalangan pemangku kebijakan yang terkait dengan bidang maritim.

Tanpa kesadaran, Visi Indonesia Poros Maritim Dunia tidak akan tercapai. Memaknai tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK dan pencapaiannya, saya mengajak para pemangku kebijakan untuk melaksanakan kerja MEMBANGUN KESADARAN MARITIM, bukan justru memanipulasi kesadaran maritim. Dan membuat polling lebih dekat dengan memanipulasi kesadaran ketimbang membangun kesadaran. Tabik.

Oleh : Irwan. S

Penulis adalah Pemerhati Maritim, tinggal di Jakarta   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun