Membaca sebuah broadcast dalam sebuah group media sosial, saya terkejut. Didalamnya tertera berita tentang penyelenggaraan acara Rembuk Nasional III. Terkejut, karena acara Rembuk Nasional yang dalam tujuannya tertulis untuk melakukan pendalaman dan juga melakukan kritik terhadap pencapaian tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK dalam 11 bidang pembangunan yang dipandang perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai usulan bagi bahan perbaikan dan percepatan yaitu bidang politik hukum keamanan dan ketahanan nasional, kebhinekaan dan memperkokoh NKRI,Â
ekonomi dan perdagangan, konektifitas dan infrastruktur, ketahanan dan keamanan pangan, pertambangan dan energi, kemaritiman dan sumberdaya, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, pembangunan manusia dan pendidikan vokasi, ciber defense dan pengelolaan informasi nasional tersebut setelah saya baca ternyata tidak mencantumkan nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pujiastuti dalam jajaran steering comitte.
Padahal jika benar Rembuk Nasional tersebut bertujuan untuk  melakukan pendalaman dan juga melakukan kritik terhadap pencapaian tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK dalam 11 bidang pembangunan yang dipandang perlu mendapatkan perhatian khusus sebagai usulan bagi bahan perbaikan dan percepatan, maka sesuai bidang yang ada, yaitu maritim dan sumberdaya atau lingkungan maka sektor kelautan dan perikanan seharusnya menjadi prioriotas untuk dibicarakan.
Baiklah saya akan menjabarkan mengapa bidang maritim, sumberdaya dan lingkungan (dalam konteks ini adalah lingkungan kelautan) menjadi layak untuk dilakukan pendalaman, melakukan kritik, memberikan refleksi terhadap pencapaian selama 3 tahun pemerintahan yang berujung kepada usulan lahirnya bahan perbaikan dan percepatan.
BIDANG MARITIM, SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN KELAUTAN
Bila kita secara jujur memandang apa yang telah dilakukan oleh Susi selama ia memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maka amatlah mudah melakukan pendalamannya. Apalagi pendalaman terhadap kebijakan Susi dalam bidang kelautan dan perikanan yang berada dalam sektor maritim, terkait upaya perlindungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan nasional sesungguhnya menempati tempat teratas, sebuah prestasi besar.
Betapa tidak, hari ini tidak satu jengkal laut kita dapat dimasuki oleh kapal penangkap ikan asing untuk mencuri ikan kita. Satu aktifitas yang dahulu dilakukan secara masif, terbuka terang-terangan dan bahkan dianggap sebagai kelaziman. Ketatnya aturan dan pelaksanaan dari aturan pelarangan kapal penangkap ikan asing melakukan ilegal fishing di teritori perairan Indonesia, merupakan sebuah langkah jauh kedepan. Indonesia kemudian tidak lagi dipandang sebelah mata oleh pihak asing.Â
Secara strategis, langkah Susi terkait hal itu juga mengejawantahkan sebuah sistem pengamanan teritorial nasional, yang juga berarti terbentuknya sebuah praktik ketahanan nasional. Karena kapal penangkap ikan asing bukan hanya mencuri ikan, tapi juga berpotensi mencuri informasi strategis, dalam bentuk kegiatan mata-mata dan lain-lain yang berbahaya terhadap kepentingan strategis ketahanan nasional. Â Â
Ketahanan nasional juga harus kita pahami dalam perspektif perlindungan kepada sumberdaya. Kebijakan Susi yang melakukan pelarangan kapal penangkap ikan asing juga berorientasi kepada upaya negara melindungi segenap sumberdaya kelautan dan perikanan dari upaya jahat pihak asing. Perlindungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan agar kekayaan alam laut teresebut bukan saja hanya dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia saat ini, tetapi juga dalam konteks tersedianya sumberdaya tersewbut bagi anak cucu kita kelak.
Kebijakan Susi yang lain yang tidak kalah penting dan justru kerap menjadi kontreoversi adalah tentang diberlakukannya pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang sebagai alat penangkap ikan. Langkah tersebut, memperkuat langkah Susi mempertahankan sumberdaya kelautan dan perikanan, bukan hanya dari ancaman pihak asing, tetapi juga dari para mafia pengusaha kapal penangkap ikan yang menggunakan alat cantrang. Cantrang harus dipahami sebagai alat tangkap yang dapat mengancam ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan, karena penggunaannya dapat menghabisi semua potensi perikanan tanpa pandang bulu hingga habis terkuras. Bukan tidak mungkin, para nelayan kemudian akan terancam tidak mendapatkan ikan, karena telah disapu bersih oleh kapal penangkap ikan pengguna cantrang.
Dalam konteks lingkungan kelautan dan perikanan, kebijakan Susi melakukan pelarangan penggunaan alat tangkap bernama cantrang juga demi terjaganya lingkungan dan ekosistem kelautan nasional.
Jika hal-hal tersebut dilakukan pendalaman secara komprehensif dalam rangkaian refleksi pencapaian, maka kritik, usulan dan masukan yang logis adalah terhadap upaya pelemahan kepada kebijakan Susi tersebut diatas. Publik mengetahui bahwa Susi lebih dari 2 tahun dari masa 3 tahun kepemimpinannya di KKP, terus menerus diganggu oleh banyak pihak. Tuntutannya yang paling sering adalah agar Susi mencabut keputusan pelarangan penggunaan cantrang.Â
Padahal, pencabutan larangan penggunaan cantrang berarti pembiaran terhadap penangkapan ikan semena-mena yang menguntungkan industri usaha penangkapan ikan yang menggunakan cantrang dan berarti terjadi tindak ketidakadilan bagi nelayan yang amat mungkin kesulitan memperoleh ikan tangkap. Kritrik juga harus diarahkan bagi pihak-pihak yang menekan Susi mencabut larangan penggunaan cantrang, terutama mereka yang justru berada dalam pemerintahan dan atau mereka yang berasal dari kekuatan politik pendukung pemerintah, karena pembiaran penggunaan cantrang berarti membantu rusaknya lingkungan dan ekosistem kelautan.
Tapi sayangnya, Susi tidak menjadi bagian dari Rembuk Nasional III ini. Seharusnya, sebagai sebuah kementerian yang dipandang memiliki pencapaian yang baik, seyogyanya dalam kapasitasnya dibidang sumberdaya maritim, utamanya perikanan, dan juga lingkungan kelautan, Susi adalah pihak yang layak dilibatkan.
Mungkin panitia penyelenggara Rembuk Nasional III punya pertimbangan dan kacamata lain. Mungkin pula mereka hanya sekedar pencatat, dimana siapa yang hadir dan duduk dalam steering comitte sudah ditentukan dari "atas". Mereka hanya juru ketik.
Tetapi bagi saya, jika temanya rembuk nasional, maka objektifitas harus berada diatas segala hal. Bagaimana bisa mengaku rembuk bila semangat dan ruh dari rembuk saja tidak dimiliki. Bila memahami kata rembuk saja gagal paham, bisa jadi hasilnya rembuknya pun akan jauh dari paham. Akhirnya, acara rembuk cuma jadi ajang foto-foto dan pamer di media sosial. Tabik.
Oleh : Irwan. S
Penulis adalah rakyat Indonesia, tinggal di Jakarta   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H