Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bening

24 Desember 2018   06:25 Diperbarui: 24 Desember 2018   07:28 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setahun lalu perempuan ini masih sering menyiram bunga di pagi hari. Lekuk tubuhnya yang indah ditimpa terkaman cahaya pukul tujuh. Bening, nama gadis ini. Entah masih gadis atau tidak sekarang. Dulu dia masih suka mengepang rambutnya menjadi dua, mengenakan daster bunga bunga.Memeluk bunga mawar yang ditanam Ibu di dekat teras, dari arah utara ke selatan. Bening adalah penanggungjawab utama keberlangsungan hidup para mawar.

Kini tubuhnya yang tinggi menjulang hampir tak bisa kukenali. Tahi lalat besar di pipinya, atau tompel begitulah biasanya orang orang menyebut kini sudah lenyap dihantam sinar laser. Pipinya yang dulu gembil mempesona telah berangsur menjadi tirus, tipis, bersih dan mengkilat. Lengannya tak lagi berisi, ramping dan semakin indah dibalut dress garis garis warna merah. Bibirnya merah muda, rambutnya tergerai, sepatunya hak tinggi tanpa kaus kaki. Tak puas kutatapi perempuan ini dari atas hingga ke bawah dan kembali ke atas lagi, inikah Bening yang dulu kukenal?.

Dia melepas kacamatanya. Menyilangkan kakinya yang jenjang saat kupersilahkan duduk. Ekor matanya menelisik seisi rumah dan berhenti pada sebuah potret keluarga di atas meja dekat bufet. Bening menatapnya selama kurang lebih tiga detik hingga akhirnya kusadarkan dengan memanggil namanya

"Mbak Norma sehat?" tanyanya pelan dan lembut. Aku tahu ini hanyalah basa basi. Aku mengangguk, kehilangan kata kata. Dalam hati sungguh aku ingin menyakan banyak hal padanya. Tentang perkawinannya yang mewah tanpa mengundang aku, tentang pekerjaannya saat ini ataupun tentang siapa yang menikahinya. Aku banyak mendengar kabar bahwa Bening menjadi perempuan simpanan juragan kaya, namun masih berharap jika hal itu tidak benar. Kupijit pijit pergelangan tanganku, takut lepas kendali menanyainya macam macam yang mungkin tidak ia suka.

"Saya kesini mau menanyakan tentang..." katanya dengan hati hati. Kalimat selanjutnya kuterjemahkan sebagai suatu permintaan yang berat. Dia mau rumah ini, rumah bapaknya yang telah tiada. Aku tercekat, menyadari jika Mas Rudi sudah lama tidak ada dan aku hidup menjanda. Rumah ini adalah harta satu satunya yang masih bisa kugenggam, lalu jika Bening meminta aku harus bagaimana?.

  "Saya tahu Bapak begitu sayang pada Mas Rudi hingga mewariskan rumah ini tanpa sepengetahuan saya Mbak. Tapi saya butuh rumah ini untuk merawat kenangan bersama orang tua. Almarhum Mas Rudi pasti juga bisa maklum, karena saya adik kandungnya".

Kepalaku seakan berputar. Aku juga merawat banyak kenangan dalam setiap sudut rumah ini. Hari hari berat saat Mas Rudi terbaring lemah tanpa siapa siapa selain aku juga merupakan kenangan yang tak bisa kutumpas, bayangan Almarhum Bapak menari nari. Teringat kembali aku saat masih merawat beliau dengan Mas Rudi. Semuanya lekat dan masih pekat.

Air mataku menetes kala Bening menyodorkan sebuah map warna coklat. Dimintanya aku untuk menandatangani surat di atasnya.

"Aku butuh Bapak Mbak, aku butuh aroma rumah ini untuk dapat kembali merasakan hidup" ucapnya pelan. Dari balik matanya yang penuh dengan riasan aku melihat benda cair luruh satu persatu, diusapnya dengan ujung jari dan kembali tersenyum kepadaku.

Aku tertegun, ditelan keraguan. Aku memang hanya anak mantu bapak. Namun aku adalah istri  Mas Rudi, pemilik sah rumah ini.

"Mbak tahu kan aku diasingkan oleh Ibu? Aku lebih menderita dari siapapun Mbak" bisiknya lirih.

Bening menengadahkan kepalanya ke arah langit langit. Rahangnya yang lancip tak mampu menahan rona kesedihan. Wajah ayunya pias oleh buruan benda bening yang deras membasahi pipi. Aku lebih dari tahu bagaimana sayangnya bapak pada Bening, meski ibu tidak.

"Aku.. aku hanya punya rumah ini untuk kutinggali, Bening" jawabku hampir terbata bata karena didesak rasa sesak. Bening mengangguk, dia katakan rumah ini akan ditukarnya dengan apartemen di pusat kota. Bahkan ia telah memikirkan kepindahan anak anakku untuk sekolah yang baru. Semua tinggal menempati, aku hanya perlu menambahkan tanda tangan dan semuanya selesai.

Aku ikut tersedu. Rumah ini sudah sekian lama memelukku menjadi bagian penting bagi urat nadi anak anakku, rumah ini adalah segala hal yang tak dapat kutangguhkan untuk alasan apapun, rumah ini adalah sebaik baiknya tempatku merebah saat Mas Rudi tak lagi ada.

"Bening bisa tinggal di sini bersama Embak" tawarku setelah pusing memikirkan hal ini. Bening menggeleng, dia tak bisa tinggal denganku karena ia memiliki suami. Aku maklum akan hal itu, tetapi tidak dengan permintaan sebelumnya.

"Nanti aku urus kamu dan anak anakmu, Bening" kurendahkan diri serendah rendahnya di hadapan perempuan ini. Bening mendesah, runyam isi kepalanya tak dapat disembunyikan. Samar aku melihat perutnya yang menggembung, dia sedang mengandung.

Bening menggeleng, kecewa menyelimuti raut wajahnya yang ayu. Rambutnya yang ikal bergoyang pelan saat selendang hitamnya ia lilitkan ke atas kepala, menutupi empat per lima kepalanya menyisakan poni tipis.

"Saya permisi Mbak, semoga Tuhan melindungi Mbak sekeluarga" Bening pamit. Aku sempat memeluknya dalam isak yang menderas. Berat rasanya melepas adik iparku ini. Aku jadi teringat Mas Rudi, Ibuk Bapak dan segala hal yang dulu masih bisa kami rengkuh bersama dalam bingkai keluarga.

Bening meninggalkan halaman, meninggalkan wangi bunga mawar yang ditanam ibu, meninggalkan keraguan yang nyaris ditimpa hampa yang bertubi tubi. Aku diam menatapi mobilnya yang menghilang dari pandangan, Bening cepat sekali dewasa.

 "Setelah membeli es potong, aku lihat dia berlari lari. Habis itu aku nggak tau lagi" kata bocah mungil di depanku. Wajah polosnya keling, sedikit menggigil, dia tak mungkin berbohong.

"Terakhir aku lihat dia sama laki laki, digandeng, masuk mobil, nggak tahu lagi abis itu" lanjutnya. Dia menggeleng ketika kutanyai kemana mobil itu membawa Anis, anakku.

Seluruh sekolah telah kujelajahi. Guru guru sudah kuhubungi. Kantor polisi sudah menerima pengaduanku. Anis tidak pulang sejak dua hari yang lalu. Tak ada jawaban dari telepon pintarnya.

Seminggu sudah aku mencoba menelusur keberadaannya dibantu beberapa temanku. Tidak ada tanda tanda Anis ditemukan, tidak ada kabar yang cukup membuat lega. Putriku raib dalam sekejap hingga pada suatu pagi aku kedatangan tamu, Bening.

Perempuan itu tergopoh gopoh sembari memegangi perutnya. Menanyakan bagaimana kronologi kejadian yang sesungguhnya. Aku tak bisa bercerita banyak, aku hanya katakan jika memang masih rezekiku maka dia pasti akan kembali.

"Sudah berapa bulan usia kandunganmu, Bening?" kuberanikan diri untuk menanyakan hal itu. Bening berubah raut wajahnya, namun lekas tersenyum.

 "Tujuh bulln Mbak" jawabnya.

Bening meminta untuk tinggal di rumah ini ketika bayinya telah lahir.

  "Tidak lama kok Mbak, hanya selama Mas Anton belum pulang dari luar negeri. Nanti ketika beliau sudah kembali, aku akan segera pulang" katanya pelan sembari mengelus perutnya.

Aku mengangguk, menawarkan waktu yang sedikit lebih lama jika ia ingin tinggal. Namun ia menggeleng cepat "Aku sudah menjadi istri, Mbak. Aku harus patuh dengan suamiku" katanya.

Kekalutanku tentang keberadaan Anis seolah mengusir Bening, mengenyahkan raganya dari beranda rumah. Dia menawariku bantuan untuk menyebarkan foto Anis di grub sosial media yang ia punya. Aku tahu Bening memiliki jaringan yang cukup kuat mengingat ia kini menjadi istri salah satu orang terpandang di daerah, entah daerah mana.

 "Saya akan kabari Mbak jika nanti ada perkembangan"

Aku mengangguk, harap harap cemas.

Waktu berlalu, pencarianku tak juga menemukan titik terang. Segala hal sudah kuupayakan untuk menemukan Anis. Dua hari lagi Bening akan datang, merawat bayinya di antara wangi bunga bunga mawar yang masih kurawat baik. Dua hari lagi aku akan kembali merasakan menjadi ibu.

Bening datang seorang diri. Menggendong bayinya yang masih merah. Kain gendongnya berwarna ungu muda. Peempuan itu membiarkanku ikut menimang anaknya.

"Saya beri nama Rudi, Mbak. Agar saya bisa ingat terus dengan Mas Rudi" katanya.

Tiba tiba aku terisak, seolah melihat Mas Rudi kedua yang telah terlahir kembali. Aku meraung mengingat Anis yang tak bisa kutemukan. Sementara tak ada lagi yang bisa kupertahankan selain kehormatan sebagai istri Mas Rudi, pewaris rumah ini.

Bening tumbuh menjadi ibu pada umumnya. Menyusui anaknya seperti ibu ibu yang lain. Menyayangi anaknya hingga tertidur dan kembali bangun. Namun akhir akhir ini ia seperti kuwalahan menahan bebannya sebagai ibu muda. Sering kali aku harus kerepotan menjaganya, aku yang harus memasak untuk kami berdua, membersihkan rumah, membereskan segalanya, merapikan benda benda yang mungkin berserak. Aku seakan harus menjadi ibu dari dua orang anak.

"Mbak, tolong buatkan sup ayam ya" kata Bening dengan nada lembutnya. Jika sudah seperti itu aku hanya bisa mengangguk, pun dengan pertanyaan pertanyaan yang mungkin akan menyakitkan di waktu selanjutnya seperti,"Mbak, kok kemanisan?" , "Mbak, ini terlalu asin" atau yang lainnya yang mungkin akan membuatku semakin bersedih.

"Mbak, tolong sisirku jatuh" teriaknya ketika aku sedang sibuk dengan persiapan makan malam. Bahkan untuk urusan sekecil ini Bening harus melibatkan aku?

Tak urung kuambilkan juga sisir mungil merah jambu di dekat kakinya itu. Aku duduk di ranjang, menghadap wajahnya yang sebening kristal. Dia balik menatapku sembari terus menyisir rambut panjangnya.

 "Ada yang salah, Mbak?" tanyanya.

Aku menggeleng, kuusap lelehan dari sudut mata. Rasanya begitu sakit. Apakah dengan tinggal di rumah ini berarti Bening berhak untuk melakukan segala hal? Akankah itu berarti aku wajib melayaninya selayaknya seorang tamu? Bahkan seorang putri raja?.

 "Saya tidak mengerti Bening, saya hanya tidak nyaman sering kamu suruh suruh" kataku dengan nada bergetar. Bening menatapku. Menghentikan gerakan tanganya.

 "Maksud Mbak? Bukannya Mbak sendiri yang bilang kalau Mbak akan membantuku dan anak anakku? Mbak akan ikut merawat anak anakku juga"

"Benar" jawabku sejurus kemudian.

"Tapi tidak seperti ini, Bening" sambungku.

Bening berdiri. Meletakkan sisirnya di atas meja rias. Ia menghela napas berat.

"Mbak tidak ingat? Setelah Mbak datang ke dalam kehidupan Mas Rudi, aku yang menjadi pembantu di rumah ini" katanya sembari membelakangiku.

Aku tercekat.

"Mbak tidak ingat? Aku yang selalu diperalat Ibu untuk melakukan banyak hal di rumah ini. Mbak memang menantu kesayangan Bapak dan Ibu hingga menggeser kasih sayang mereka. Mbak tidak ingat? Aku yang melakukan segalanya sementara Mbak tidak"

"Mbak tidak pernah mengerti kewajiban sebagai istri, terlalu sibuk bekerja. Mbak bahkan tidak tahu penyakit Mas Rudi hingga akhirnya beliau meninggal. Mbak terlambat memiliki momongan karena hanya mengejar karir, karir dan karir. Mbak tidak tau kalau..."

Plak!!

Kudaratkan tamparan pada pipinya. Bening diam untuk sesaat. Kemudian setelah aku sadar akan perbuatanku yang kelewatan, ia sudah pergi dari kamar menggendong bayinya.

 "Bening, maafkan Mbak"

Bening meninggalkanku, meninggalkan bunga bunga mawar yang mulai mekar. Bening tak pernah kembali setelah itu.

Bening tidak pernah kembali, sekalipun aku memanggilnya setiap malam.

-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun