Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bening

24 Desember 2018   06:25 Diperbarui: 24 Desember 2018   07:28 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bening menengadahkan kepalanya ke arah langit langit. Rahangnya yang lancip tak mampu menahan rona kesedihan. Wajah ayunya pias oleh buruan benda bening yang deras membasahi pipi. Aku lebih dari tahu bagaimana sayangnya bapak pada Bening, meski ibu tidak.

"Aku.. aku hanya punya rumah ini untuk kutinggali, Bening" jawabku hampir terbata bata karena didesak rasa sesak. Bening mengangguk, dia katakan rumah ini akan ditukarnya dengan apartemen di pusat kota. Bahkan ia telah memikirkan kepindahan anak anakku untuk sekolah yang baru. Semua tinggal menempati, aku hanya perlu menambahkan tanda tangan dan semuanya selesai.

Aku ikut tersedu. Rumah ini sudah sekian lama memelukku menjadi bagian penting bagi urat nadi anak anakku, rumah ini adalah segala hal yang tak dapat kutangguhkan untuk alasan apapun, rumah ini adalah sebaik baiknya tempatku merebah saat Mas Rudi tak lagi ada.

"Bening bisa tinggal di sini bersama Embak" tawarku setelah pusing memikirkan hal ini. Bening menggeleng, dia tak bisa tinggal denganku karena ia memiliki suami. Aku maklum akan hal itu, tetapi tidak dengan permintaan sebelumnya.

"Nanti aku urus kamu dan anak anakmu, Bening" kurendahkan diri serendah rendahnya di hadapan perempuan ini. Bening mendesah, runyam isi kepalanya tak dapat disembunyikan. Samar aku melihat perutnya yang menggembung, dia sedang mengandung.

Bening menggeleng, kecewa menyelimuti raut wajahnya yang ayu. Rambutnya yang ikal bergoyang pelan saat selendang hitamnya ia lilitkan ke atas kepala, menutupi empat per lima kepalanya menyisakan poni tipis.

"Saya permisi Mbak, semoga Tuhan melindungi Mbak sekeluarga" Bening pamit. Aku sempat memeluknya dalam isak yang menderas. Berat rasanya melepas adik iparku ini. Aku jadi teringat Mas Rudi, Ibuk Bapak dan segala hal yang dulu masih bisa kami rengkuh bersama dalam bingkai keluarga.

Bening meninggalkan halaman, meninggalkan wangi bunga mawar yang ditanam ibu, meninggalkan keraguan yang nyaris ditimpa hampa yang bertubi tubi. Aku diam menatapi mobilnya yang menghilang dari pandangan, Bening cepat sekali dewasa.

 "Setelah membeli es potong, aku lihat dia berlari lari. Habis itu aku nggak tau lagi" kata bocah mungil di depanku. Wajah polosnya keling, sedikit menggigil, dia tak mungkin berbohong.

"Terakhir aku lihat dia sama laki laki, digandeng, masuk mobil, nggak tahu lagi abis itu" lanjutnya. Dia menggeleng ketika kutanyai kemana mobil itu membawa Anis, anakku.

Seluruh sekolah telah kujelajahi. Guru guru sudah kuhubungi. Kantor polisi sudah menerima pengaduanku. Anis tidak pulang sejak dua hari yang lalu. Tak ada jawaban dari telepon pintarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun