Hari ini di tempatku, sebut saja sebuah rumah di Jogjakarta sedang diguyur hujan.
Aku sedang menghadapi banyak kertas, juga sedang menghindari ponselku yang sejak tadi berdering berganti ganti nama di layarnya. Pikiranku sedang penuh dengan banyak hal, satu satunya yang sedikit bisa menolongku adalah aroma kafein.
Menenteng cangkir yang masih setengah penuh, aku berjalan meninggalkan meja kerjaku yang membosankan. Teras rumah adalah salah satu tempat istimewa untuk menikmati hujan. Diam diam aku mengawasi tetes air hujan yang melewati ujung plafon. Lambat menetes, mengantri untuk hilang bersama kawannya.
      "Jika nanti kamu tiba tiba saja mengingatku saat turun hujan, mungkin itu memang jelmaan dari puisi puisi yang aku tulis"
Kembali kuperhatikan titik titik air di ujung plafon, begitu lemah, meluncur begitu saja.
      "Hey, aku mengingatmu setiap saat" jawabku kala itu. Bukankah itu tugas seorang kekasih? Menjumput ingatan tentang orang yang ia cintai pada ruang di kepala setiap saat?.
Perempuan itu tertawa.
      "Akan ada hari dimana kita berusaha saling melupa" bisiknya pelan di bawah lenganku.
Di luar masih gerimis. Membuat kami menunda rencana pulang. Saling meringkuk dalam peluk. Berbagi bahagia dengan menatap mata berlama lama.
      "Jadi kapan bukumu naik cetak, Sayang?" tanyaku mencoba arah pembicaraan. Perempuan ini mengangkat wajahnya, tersenyum, menyentuh bibirku dengan tangannya dan berkata lirih "Sebentar lagi".
Kami saling berbagi lengan di sebuah pojok kedai kopi. Kumainkan jam tangan silver yang melingkar di pergelangannya, aku membelikannya tahun lalu. Katanya dia suka, selalu dipakai ketika kami bertemu. Sejujurnya aku sedikit malu karena pada kenyataannya aku belum bisa memberinya hal yang lebih selain perhatian dan waktu yang kusisihkan.
Bukan pertama kalinya perempuanku ini menyinggung akan sebuah perpisahan.
      "Suatu saat, ketika kita mulai menjauh hingga tak dapat kembali saling meraih.. kuharap kamu akan tahu bahwa aku pernah mencoba menjaga agar terus bersama" katanya lagi, tersenyum. Memegang erat jemariku.
      "Ya, memang kita mencoba melakukan yang terbaik setiap saat" jawabku. Aku mulai khawatir dengan kata katanya. Akankah perempuan rambut sebahu ini akan meninggalkanku seperti yang sudah sudah? Sedangkan aku sedang berusaha untuk mendewasakan diri untuk mengimbangi dunianya yang maha sempurna?.
      "Suatu saat, ketika kamu tiba tiba mengingatku saat hujan turun.. mungkin saja aku sedang banyak berdoa demi kehidupanmu" katanya lagi, mempererat genggamannya.
Kala itu kami masih terjebak di dalam kedai yang biasa kami sambangi sepulang kerja. Bukan tempat yang cukup ramai, itu yang menjadikan kami betah berlama lama di dalamnya.
Di tempat itu aku bisa melihat matanya yang terang dan mendamaikan. Di tempat itu aku bisa merasakan jelmaan rasa curiga, cemburu, rasa takut, rasa cinta yang teraduk aduk lewat pandangannya yang hangat. Di tempat itu kami berdua bisa bercerita macam macam sembari saling mengenggam jemari, menggulirkan rasa iri pelanggan lainnya. Dan sungguh kami berdua tidak peduli.
Aku bisa mengindera betapa lelah bahunya setelah seharian menatap layar. Juga bibirnya yang begitu manis jika bercerita tentang bosnya yang galak dan cerewet. Dahinya yang agak lebar dan licin akan berkerut kerut jika menceritakan hal hal yang lucu. Rasanya seluruh lelahku menguap setiap tarikan napasnya dapat kudengar lewat telinga, segala resahku tentang hari ini dan besok tumpas oleh lingkaran tangannya di leherku.
Kami menjadikan kedai itu rumah kedua.
Lalu kami akan pulang dengan vespa tua pemberian mendiang kakekku, kuantarkan perempuan yang takut panas ini ke tempat ia tinggal. Tak pernah sekalipun aku melewatkan mengecup dahinya.
      "Jaga diri baik baik ya" pesanku selalu, sebelum jemarinya menyentuh pagar besi yang memisahkan halaman rumahnya dengan jalan yang kami pijak.
Dia tersenyum, menepuk pundakku dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku.
Hari hari berikutnya kami melakukan hal yang sama. Namun pembicaraan semakin merambah ke hal hal yang lebih sensitif. Aku yang memulainya. Aku mulai mengajaknya berdiskusi tentang dimana nanti kita akan tinggal setelah menikah, bagaimana dengan jenis asuransi, pendidikan calon anak anak kami hingga hal hal konyol tentang kenyataan bahwa perempuanku ini belum pandai memasak.
      "Bagaimana jika tiba tiba kita berpisah sebelum menikah?" tanyanya dengan gerakan bibir khasnya yang teramat menggemaskan. Aku meletakkan pena yang sedari tadi kupegang, melemparkan pandangan pada matanya.
      "Bagaimana mungkin Tuhan setega itu?" aku balik bertanya. Dia menggigit bibir, mengetuk ngetuk meja dengan ujung jarinya.
      "Bagaimana jika kita tidak berjodoh?" tanyanya lagi, membuyarkan konsentrasiku yang sedang indah indahnya. Menghentikan sebentar aliran hormon bahagia di tubuhku.
      "Kenapa kamu kepikiran hal seperti itu?" aku kembali menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan.
Perempuan itu menghela napas. Memandangi meja barista yang jauh dari posisi kami
      "Kita ini sudah lama menjalin hubungan, Alina. Apa kamu tidak ada harapan untuk kita terus bersama?" tanyaku menginterupsi. Aku menatap raut wajahnya yang mendadak pias.
      "Aku belum mau menikah" jawabnya.
Aku tahu perempuan seperti Alina amat sukar untuk jatuh cinta. Kurasa aku tidak berlebihan jika mengajaknya ke arah yang lebih jelas. Toh usia kami juga sudah mendekati matang, apa lagi yang perlu ditunggu?.
      "Aku tidak tahu siapa jodohku" katanya, menatap langit langit sembari memainkan mata batu mulia di jam tangan silvernya.
      "Tidakkah terlalu tergesa gesa untuk kita membicarakan sebuah pernikahan?" tanyanya lagi.
Kututup buku catatanku. Menghempaskan pena yang tadi kugunakan untuk menulis konsep dan rancangan pernikahan yang kami diskusikan.
      "Kita sudah bersama kurang lebih tiga tahun Alina, aku sudah mengenal Mamamu, Papa, Eyang, Mona dan Rully. Belum cukup untuk membuktikan kalau aku mau menjadikanmu satu satunya?"
Perempuan ini menunduk, menatap sepatu hitamnya.
      "Aku takut kita tidak berjodoh".
Alina, jangan kau kambing hitamkan kalimat 'jodoh di tangan Tuhan'. Bukankah kita bisa sedekat ini oleh campur tangan Tuhan?.
      "Sena, suatu saat aku akan mengirimmu hujan" Alina mengalihkan pembicaraan.
Aku mulai jenuh mengejarnya dengan pertanyaan. Rasa sabarku masih banyak, Alina. Aku akan menunggumu untuk mengerti.
      "Hujan yang dinginnya memelukmu, lalu diam diam kau akan merasa rindu"
Aku lebih suka didekap pelukmu dibandingkan dijamah oleh hujan, Alina.
      "Aku takut kita tidak berjodoh"
Alina mengatakan hal itu lagi, hingga pertemuan terakhir kami di sore itu.
Diam diam aku menyeka anak sungai di pipiku.
Sore ini aku mengingat Alina, akankah ia sedang menulis puisi untukku?.
Kudekatkan cangkir kopiku pada bibir, menghabiskannya masih dengan suara hujan di beranda. Gerimis berangsur menjadi hujan yang sebentar sebentar diikuti angin.
Aku meninggalkan teras, menenteng cangkir yang telah kosong. Pikiranku tiba tiba sesak oleh bayangan Alina yang memenuhi tiap sendi rumah ini.
      "Jika nanti kita sudah tidak bersama, kamu boleh tiba tiba mengingatku dan terjebak rindu. Mungkin saja saat itu aku juga sedang merasakan hal yang sama".
Gerimis menjelma menjadi gemuruh dan hujan yang lebih deras.
      "Pun, nanti ketika hujan menjadi lebat kau harus sadar bahwa kamu juga pernah menjadi sehebat hebatnya juara di hatiku. Mungkin saja saat itu aku sedang merindukanmu sambil menangis, berdoa saja ketika hujan. Semoga kita tetap akan baik baik saja meskipun sudah tidak bersama".
Kuletakkan cangkir kopiku di atas meja. Kembali duduk di kursi kerja, menghadapi layarku.
Ingatanku penuh oleh perempuan penyuka syal itu. Mungkin saja kini ia telah menerbitkan banyak buku. Atau tulisan tulisan lembutnya telah menembus banyak media masa. Aku tak pernah tahu semenjak ia benar benar memutuskan untuk menghilang.
      "Kamu harus tahu, aku selalu menulis apa saja yang kusuka dari detik detik kita yang kuanggap berharga. Kamu harus mengerti jika aku tak main main dalam mencintaimu".
Seluruh untaian kata kata yang pernah ia katakan tiba tiba mencuat.
      "Tetapi sebuah rencana menikah, memiliki keluarga, hidup berbahagia dengan biduk rumah tangga adalah hal yang tidak pernah terpikir dalam benakku".
Kupejamkan mataku, mencoba mengenyahkan segala bentuk dan rasa molekul tubuhnya yang tiba tiba saja menyergap. Pelukan pelukannya yang pernah melingkupi ragaku setiap sore dan malam hari, kecupan bibirnya tiba tiba merangsek kembali.
      "Kamu pasti bertanya tanya, tetapi inilah aku apa adanya. Aku tidak pernah percaya ada yang bisa mencintaiku sebaik aku sendiri".
Aku ingat rambut Alina yang sedikit ikal, ikat rambutnya yang merah muda. Lalu kumpulan rambut itu yang akan bergoyang goyang lucu ketika kepalanya menggeleng geleng. Semuanya melekat dalam memori, semuanya tak mau pergi.
      "Aku ingin hidup sendiri semampuku" kata kata terakhirnya kala itu. Di kedai yang biasa kami habiskan bersama. Sore itu hubungan kami yang telah terbangun sekian lama menjadi teramat jelas, Alina tidak ingin berencana apa apa untuk ke depannya.
Meskipun pada akhirnya di sore sore selanjutnya kami masih menjalani rutinitas yang sama namun tak dapat dipungkiri jika semuanya berubah menjadi canggung. Aku datang sendiri dengan lunglai, memesan latte lalu berjalan di pojok ruangan. Kulihat dia memasuki kedai dengan selop hitamnya, memesan kopi Gayo kesukaannya lalu berlama lama menatap jendela tidak jauh dari tempatku duduk.
Seminggu kemudian aku sudah tidak pernah melihatnya. Teman teman sekantor bilang ia pindah tempat kerja. Mutasi, karena ada promosi jabatan. Dia menempati unit lain di perusahaan tempat kami bernaung.
Namun ada juga yang mengatakan jika ia memang memutuskan untuk keluar dari perusahaan, mengejar impiannya. Tinggal di Kota Malang, meresapi hidup. Menulis banyak hal. Memuaskan kemampuannya berimajinasi dan menumpahkan bakatnya dengan nama samaran yang aku tidak pernah tahu.
Hal yang paling jelas, ia benar benar menghilang.
Tanpa sadar satu hal, dia bawa sekeping hatiku dan harapan harapan yang kubangun.
Seperti pertama kali kami bertemu, dia tak mengucapkan kata 'Hay' dan tidak meninggalkanku dengan setitik pun kata 'Selamat tinggal'.
Hujan belum reda, rasaku pada Alina masih tanpa jeda.
Mungkin benar, perempuan itu sedang banyak menulis puisi untukku.
Puisi puisi yang tak pernah sampai.
-
Malang
08.34 Sunday 13 May 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H