Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi-puisi yang Menjelma Menjadi Gerimis

5 Juni 2018   18:25 Diperbarui: 5 Juni 2018   18:30 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            "Tetapi sebuah rencana menikah, memiliki keluarga, hidup berbahagia dengan biduk rumah tangga adalah hal yang tidak pernah terpikir dalam benakku".

Kupejamkan mataku, mencoba mengenyahkan segala bentuk dan rasa molekul tubuhnya yang tiba tiba saja menyergap. Pelukan pelukannya yang pernah melingkupi ragaku setiap sore dan malam hari, kecupan bibirnya tiba tiba merangsek kembali.

            "Kamu pasti bertanya tanya, tetapi inilah aku apa adanya. Aku tidak pernah percaya ada yang bisa mencintaiku sebaik aku sendiri".

Aku ingat rambut Alina yang sedikit ikal, ikat rambutnya yang merah muda. Lalu kumpulan rambut itu yang akan bergoyang goyang lucu ketika kepalanya menggeleng geleng. Semuanya melekat dalam memori, semuanya tak mau pergi.

            "Aku ingin hidup sendiri semampuku" kata kata terakhirnya kala itu. Di kedai yang biasa kami habiskan bersama. Sore itu hubungan kami yang telah terbangun sekian lama menjadi teramat jelas, Alina tidak ingin berencana apa apa untuk ke depannya.

Meskipun pada akhirnya di sore sore selanjutnya kami masih menjalani rutinitas yang sama namun tak dapat dipungkiri jika semuanya berubah menjadi canggung. Aku datang sendiri dengan lunglai, memesan latte lalu berjalan di pojok ruangan. Kulihat dia memasuki kedai dengan selop hitamnya, memesan kopi Gayo kesukaannya lalu berlama lama menatap jendela tidak jauh dari tempatku duduk.

Seminggu kemudian aku sudah tidak pernah melihatnya. Teman teman sekantor bilang ia pindah tempat kerja. Mutasi, karena ada promosi jabatan. Dia menempati unit lain di perusahaan tempat kami bernaung.

Namun ada juga yang mengatakan jika ia memang memutuskan untuk keluar dari perusahaan, mengejar impiannya. Tinggal di Kota Malang, meresapi hidup. Menulis banyak hal. Memuaskan kemampuannya berimajinasi dan menumpahkan bakatnya dengan nama samaran yang aku tidak pernah tahu.

Hal yang paling jelas, ia benar benar menghilang.

Tanpa sadar satu hal, dia bawa sekeping hatiku dan harapan harapan yang kubangun.

Seperti pertama kali kami bertemu, dia tak mengucapkan kata 'Hay' dan tidak meninggalkanku dengan setitik pun kata 'Selamat tinggal'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun