Bahkan Ibu juga tidak dapat membujukku untuk kembali ke rumah. Aku adalah manusia yang keras kepala, aku tak mau diganggu kala itu. Tekadku satu, aku menemani Bapak.
Ketika aku benar benar di tempat itu sendirian, merenungi segala hal yang tak bisa kembali aku terpaksa mengalah pada cuaca. Air secara tiba tiba seperti ditumpahkan dari arah langit. Mengguyur segala hal. Mau tidak mau aku melangkah ke sebuah gubuk reyot di sudut makam. Dengan tertaih tatih karena perih ilalang yang pelepahnya menikam kaki, aku akhirnya sampai.
Hampir saja aku berteriak ketika secara tiba tiba ada tangan yang mengulurkan sapu tangan. Tetapi kemudian urung karena sadar bahwa tangan itu adalah bagian tubuh manusia asli, asli dan masih hidup. Menyuruhku mengelap pakaianku dengan kainnya kemudian mempersilahkanku duduk.
Kami duduk di atas dipan berderit yang entah ada kecoaknya atau tidak. Lelaki ini menyulut rokoknya, menghisapnya dalam dalam kemudian membiarkan asapnya luruh bersama udara. Diantara rasa takut yang bergumul menjadi satu dalam dadaku, aku patut berterimakasih pada orang ini. Setidaknya ada sedikit kedinginan yang kumusnahkan ketika aku berteduh di gubuknya.
Dua puluh menit berlalu, hujan tak juga reda.
Kami saling terdiam, dia sibuk dengan rokok di bibirnya.
"Terimakasih" kuulurkan kembali kain itu padanya. Aku tidak berani menatap pemuda itu, takut.
"Buat kau saja, hanya itu yang bisa kuberikan" jawabnya, tanpa memandangku.
Kutarik kembali tanganku.
"Kau pasti bagian keluarga yang sedang berduka tadi pagi" tebaknya.
Aku mengangguk.