Aku berbalik.
Dia mengikuti, mengimbangi langkahku yang mulai cepat.
"Ga, sudah. Cukup. Aku pulang bukan untuk kembali mencicipi kecewa. Aku masih suka kamu, kamu tau itu. Tapi tolong jangan rusak semuanya dengan satu dua kata 'memulai kembali'. Kamu tak mengerti betapa aku telah patah berkali kali. Kamu tak paham aku menambal luka sendirian. Apa yang kamu tau, Ga? Mengecewakan lalu meminta maaf? Mengulanginya setiap waktu? Berlutut memintaku lagi dan lagi? Begitukah?"
Jogja basah.
Juga pipiku.
Aku kembali bukan untuk menjemput kecewa, Ga. Mengertilah.
Jogjaku temaram.
Jogjaku mengaduh, menyaksikan kami yang tak pernah berakhir dengan bahagia sepenuhnya.
 Tapi aku masih ingin pulang di musim bedhidhing berikutnya.
Karena aku masih suka Jogja.
Juga lelaki di hadapanku.