Bukan itu yang ingin kudengar, sungguh.
Jogja masih memeluk pecintanya. Menghadirkan banyak fragmen kenangan dengan apik. Puzzle puzzle partikel yang membentuk berbagai rasa yang pernah ada. Kepingan kepingan yang pernah hadir. Jogja masih mengalunkan nada yang sama, manja.
Kopiku mendingin, ingin segera kutandaskan.
"Na" ketiga kalinya dia memanggil, masih dengan cara yang sama.
"Aku minta maaf, Na"
Jogja masih menggelitik lewat rintik. Kurasa aku harus menuntaskan yang tak pernah berakhir dengan gamblang.
Satu per satu rintik menghantam tanah. Aspal jalan kembali terbasahi. Kuputuskan mengakhiri umur cairan pada gelasku. Kusisakan ampasnya.
"Aku harus pergi" aku berdiri.
"Na, tak bisakah kita mulai dari awal?"
Hujan menyala, membuat basah apa saja di bawahnya.
"Na"