Dinginnya menikam pori pori. Orang Jawa bilang ini musim 'bedhidhing'. Masa masanya hawa malam menyerang siapa saja. Cukup cocok untuk menggerakkan sepasang kaki beralas seadanya untuk melangkah mencari sesuatu. Kopi misalnya.
Jalanan menghitam oleh gelap. Hanya satu dua temaram sinar lampu teplok tergantung pada gerobak gerobak isi jajanan murah yang masih menyala. Juga mata mata yang masih awas mengamati malam. Ada kepulan asap di sana sini. Beraneka aroma.
Di suatu sudut kepulan itu menebal. Dihembuskan oleh sepasang bibir yang mungkin telah menghitam. Tapi masih manis, untukku. Aromanya hingga ke tempatku berdiri, rasa coklat.
Aku berhenti di hadapannya. Sesaat mencopot sendalku, menghampirinya pada tikar pandan. Bibirnya tersenyum, meletakkan peralatan hisapnya di samping paha. Matanya yang sayu mengerling seolah menyambutku.
"Sudah kupesankan kopi" katanya. Aku mengangguk sebagai ucapan terimakasih. Dia meraih kembali vapenya, bersiap untuk menghisap. Namun tangannya kembali turun saat aku terbatuk, sengaja mencegahnya.
"Maaf ya, aku baru beli kemarin. Sayang kalo nggak dipake" disimpannya rokok elektrik itu pada sakunya. Menghormatiku yang tak suka melihat dia terus terusan menghabiskan sisa tabungan untuk membeli benda seperti itu. Dia menyodorkan gelas kopiku.
"Spesial dengan arang" katanya.
Jalanan masih basah dengan sisa hujan.
Jogja masih sama, membuat rindu. Pun dengan dinginnya yang istimewa. Tak ada rasa menyesal walaupun aku hanya pulang setahun sekali. Asalkan..
"Aku kangen kamu" bisiknya.
Kami membisu setelahnya. Seperti biasa aku tak segera menyahut. Aku membutuhkan banyak detik untuk meredam sesuatu di dalam sini setelah mendengar apa yang baru saja keluar dari mulutnya.