Mohon tunggu...
Vox Pop

Kasus Mirna dan Investigasinya - The Trial (Continued)

23 Agustus 2016   17:44 Diperbarui: 23 Agustus 2016   17:57 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"The emotional qualities are antagonistic to clear reasoning." - SH - The Sign of Four
"There is nothing like first-hand evidence." - SH - A Study in Scarlet

Selamat Siang,

Sekali lagi, dalam rangkaian-rangkaian tulisan yang berkaitan dengan Kasus Mirna dan Investigasinya, Penulis tidak ingin mendahului jalannya Persidangan dan Proses Hukum yang sedang berjalan; Penulis juga tidak ingin membela satu pihak secara membabi-buta, juga menuduh pihak manapun sebagai yang bersalah secara membabi-buta ... kasihan babi-nya.

Tulisan kali ini akan mencoba menelaah kesaksian dua saksi-ahli terakhir yang muncul setelah tulisan tentang "teori" selesai dan published (http://www.kompasiana.com/imnainggolanpm2015/kasusmirna-dan-investigasinya-observations-and-theory_57b162925c7b61c41e26ff23)

Dua saksi-ahli ini menarik karena keduanya bergerak di bidang yang bagi ke-awam-an penulis, tampak mirip-mirip: "Ahli Psikologis Klinis" dan "Ahli Psikiatri Forensic"

Keduanya sebenarnya ditolak oleh Kuasa Hukum Terdakwa mengingat keduanya terlibat dalam penyidikan sebelumnya.

Penolakan oleh Kuasa Hukum terdakwa ini adalah wajar dan logis. Kenapa? Karena ini sama artinya dengan menempatkan Saksi Ahli disidang untuk mempertanggungjawabkan hasil kerja mereka.

Apakah seseorang bisa benar-benar netral dan professional mengakui seandainya hasil-kerja nya ada kesalahan?? Mungkin ini bisa jadi topik analisa tersendiri bagi Psikolog dan Psikiater ... kenapa manusia bersikap defensif kalau seandainya ada ditemukan kesalahan dalam dirinya atau hasil kerja-nya?

Anyway ... mari kita coba lihat keterangan dari kedua saksi ahli tersebut :)

Ahli Psikologis Klinis RSCM - Ibu Antonia Ratih Anjayani Ibrahim

Kesaksian Ahli Psikologi Klinis dalam persidangan sekitar seminggu yang lalu cukup menarik banyak perhatian karena banyak orang berkesimpulan bahwa kesaksiannya "memojokkan" atau "menyudutkan" terdakwa.

Ada beberapa hal yang menarik dari keterangan Saksi Ahli Psikologis Klinis:

> Mengenai "Numb" atau Mati-Rasa.

> Mengenai tingkatan partisipatif Terdakwa dalam kegentingan

> Mengenai kesimpulan Saksi Ahli bahwa dalam kelompok seusia Terdakwa, Terdakwa tidak seperti yang lazim dilakukan oleh remaja seusia mereka dimana mereka biasanya main-gadget, social-media dll

> Adalah biasa bagi orang2 untuk menempatkan tas di atas meja sebagai penanda; tetapi biasanya tas tersebut akan dipindahkan ke kursi/sofa setelah datang / kembali lagi ketempat tersebut

Penulis melihat bahwa kesaksian dari Ahli Psikologis Klinis ini "expected" karena dari kesimpulannya beliau berusaha menunjukkan kejanggalan-kejanggalan, maka saat dimintai keterangannya sebagai saksi, beliau pun berusaha menunjukkan validitas dari kesimpulan2nya tersebut.

Penulis melihat bahwa Saksi Ahli inipun tidak terlepas dari persepsi yang beliau yakini sebagai kebenaran (presumptive) yang kemudian menjadi "barang bukti" (evidence - presumptive evidence) dalam persidangan ini.

Persepsi, itu harus digunakan secara hati-hati.

Dalam melihat kasus Mirna ini, sebagian besar masyarakat yang mengikuti menilai dan memberi ekspektasi bahwa Terdakwa harus bersikap tertentu. Oleh karena itu, banyak hal2 yang kita nilai "tidak wajar". Padahal kalau kita mau coba 'terbuka' sedikit, kalau kita melihat orang dari latar belakang budaya yang berbeda, dimana pria merangkul dan cipika cipiki istri orang adalah wajar, secara otomatis kita juga akan menilai itu "tidak wajar" kan?

Atau ke yang lebih 'ekstrim' dimana bagi orang2 di daerah tertentu terbiasa dengan nudity, banyak kita yang akan menganggap itu "tidak wajar" ... oleh karena itu, kita harus bisa menempatkan diri kita dalam persepsi yang benar.

1. mengenai Numb atau Mati Rasa dan tingkat partisipasi Terdakwa dalam memberikan pertolongan.

Saksi Ahli Psikologis Klinis menilai sikap terdakwa berdasarkan persepsi bahwa Terdakwa "tidak boleh" mengalami Numb atau Mati Rasa; harus selalu  "cekatan" dan tampak histeris dalam bersikap; sehingga apa yang ditampilkan oleh Terdakwa adalah suatu anomali atau kejanggalan.

Penulis melihat bahwa kita tidak boleh 'hantam kromo' dalam menilai sikap seseorang dalam situasi apapun. Ini sejalan dengan logika bahwa di sistem hukum negara2 lain, kesaksian Ahli itu dikatakan 2nd hand evidence; bukan bukti langsung dan konkrit.

Penulis tidak tahu bagaimana kondisi dan profil kejiwaan Terdakwa, tetapi pada akhirnya pun Saksi Ahli mengiyakan pertanyaan Kuasa Hukum Terdakwa bahwa siapa saja (termasuk Terdakwa) bisa mengalami Numb atau Mati Rasa, dimana Terdakwa akan bersikap "diam" ... "menarik diri" ... dan "biasanya akan bereaksi kembali setelah ditarik atau diajak"

Dari sini kita bisa melihat bahwa netralitas ibu Saksi Ahli Psikologi Klinis disini tampak labil.

Selain itu, mari kita coba masukkan background Terdakwa di NSW Ambulance Service .. dan Terdakwa juga sudah menjadi Permanent Resident disana ... berarti Terdakwa sudah cukup terbiasa dengan tingkah polah dan sikap orang2 disana. menilai Terdakwa dengan kacamata cara dan gaya hidup orang lokal adalah sesuatu yang absurd.

Penulis mau bertanya ... siapakah yang sudah pernah membaca/mendengar/tahu akan "Good Samaritan Law"?

Good Samaritan Law ini adalah hukum yang memberi perlindungan kepada "penolong" dalam suatu kondisi emergency, bahwa jika sesuatu terjadi dengan si Korban, si Penolong akan dilindungi dari anggapan bahwa kematian Korban adalah karena mungkin ada kesalahan prosedur medis dilakukan oleh yang menolong.

Australia juga mengadopsi perlindungan ini.

Lah .... kok Terdakwa malah "tidak menolong" (seperti kesaksian Saksi Ahli)??? .... ini pertanyaan yang logis.

Di Australia, perlindungan ini "batal" kalau si "penolong" berada dalam pengaruh obat2an atau alkohol.

Nah ... disini jadi masuk akal kan? Terdakwa barusan meng-konsumsi 2 gelas minuman beralkohol dimana penulis bisa 'mengerti' bahwa Terdakwa mungkin "ragu-ragu" antara menolong atau tidak .. karena kalau Terdakwa menolong, dan terjadi apa-apa, maka Good Samaritan Law tidak akan melindungi terdakwa lagi (ini instinctive karena terdakwa sudah lama berada di Australia).

"Apakah Good Samaritan Law ini dianut / di adopsi di Indonesia?" ... Penulis tidak tahu, apalagi mengingat bahwa Terdakwa sudah lama tidak menetap di Indonesia; Penulis saja yang lama di Indonesia tidak tahu apakah sistem hukum di Indonesia memberikan perlindungan bagi "penolong" dlm kondisi emergency.

Pada Akhirnya memang ada dilihatkan moment dimana Terdakwa tampak "menolong" Korban naik ke Kursi Roda (salah satu momen yang dianggap oleh saksi ahli sebagai 'tidak menolong') ... disini bisa dipahami bahwa ini sudah bukan lagi "pertolongan pertama" .. dimana pertimbangan seseorang yang bisa jadi tahu akan Good Samaritan Law ini, pertolongan di tahap ini sudah bisa diberikan meski terdampak minuman Alkohol.

atau, mungkin Terdakwa sudah berketetapan "ah masa bodohlah kalau saya dituntut karena salah prosedur dalam membantu; ini teman saya, saya akan tolong"

Seperti bisa kita lihat, ada banyak "kemungkinan-kemungkinan" dari aspek Sikap, Kondisi Psikologis, dan lain-lain ... makanya dalam peradilan-peradilan diluar, bukti-bukti 2nd hand seperti ini sangat jarang disajikan karena tidak memiliki kepastian "beyond reasonable doubt".

2. Mengenai sewajarnya dalam kelompok usia terdakwa, dimana mereka bermain Gadget, Social Media dll.

Lagi-lagi disini Penulis melihat netralitas Saksi Ahli Psikologis Klinis bisa dipertanyakan.

Saksi Ahli Psikologis Klinis tampaknya menyimpulkan dari persepsinya bahwa Terdakwa tidak melakukan apa yang menjadi kelaziman pada umumnya dimana muda-mudi seusia Terdakwa pada umumnya bermain Gadget, Social Media, dll.

Saksi Ahli tidak menggunakan "kemungkinan" bahwa Terdakwa mungkin tampak tidak (berdasar rekaman CCTV yang dilihat) melakukan apa yang menjadi kelaziman pada kelompok seusia terdakwa.

3. Mengenai perilaku meletakkan tas diatas meja dan memindahkannya.

Dalam keterangannya, Saksi Ahli tampak tidak netral karena Saksi Ahli menyimpulkan bahwa tindakan ini tidak lazim, dan berkaitan dengan rencana untuk melakukan manipulasi atas gelas minuman yang ada di depan terdakwa.

Ada banyak kemungkinan-kemungkinan lain mengapa seseorang meletakkan tas atau bawaannya diatas meja dan tidak langsung serta-merta memindahkannya ke tempat lain.

Inilah yang menjadi dasar "perdebatan" oleh Kuasa Hukum Terdakwa terhadap keterangan Saksi Ahli Psikologis Klinis ... bahwa, "darimana bisa dibilang sebuah tindakan adalah lazim atau tidak?" .... adakah data statistik dan pengamatan yang dilakukan untuk menentukan sebuah aksi/tindakan adalah aksi/tindakan yang lazim?

Inilah yang menjadi dasar pemahaman bagi Penulis, kenapa sistem peradilan di negara2 lain (yang bisa dibilang sudah lebih maju) lebih mengutamakan apa yang disebut first-hand evidence; bukti otentik; bukan kesaksian-kesaksian (baik dari Ahli ataupun bukan) yang sebagus apapun tampaknya, se qualified apapun ahli-nya, ini hanya second-hand evidence; bukti-bukti presumptive yang sekali lagi, di luar sana, disajikan secara hati-hati di peradilan (bukan melimpah ruah seperti dalam persidangan ini)

Ahli Psikiatri Forensik RSCM - Ibu Natalia Widiasih Rahardjanti

Seperti biasa dan diharapkan, Kuasa Hukum Terdakwa di awal persidangan menunjukkan keberatannya atas Saksi Ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum :)

Saksi Ahli Psikiatri Forensik ini, dalam pengamatan penulis, jauh lebih netral dibandingkan Saksi Ahli Psikologis Klinis yang sebelumnya dimintai keterangan.

Memang ada 5-6 inkonsistensi yang dicatat oleh Saksi Ahli Psikiatri Forensik, tapi disini netralitas Saksi tampak saat beliau berkata jujur bahwa tidak tahu berapa banyak total pertanyaan yang mereka ajukan selama berinteraksi dengan terdakwa.

Disini Kuasa Hukum Terdakwa tampak ber-keberatan juga karena dalam persidangan ini, kehidupan masa lalu terdakwa yang tidak berkaitan dengan Korban juga menjadi konsumsi publik karena Jaksa menggali lebih dalam kesana, mungkin untuk membangun persepsi bahwa Terdakwa itu bersalah, jiwanya tidak stabil, dll .... lebih kepada pembunuhan karakter, menurut tanggapan Kuasa Hukum Terdakwa.

OK lah, kita tinggalkan dulu hal-hal yang berbau persepsi, karena setiap orang punya persepsi yang berbeda-beda. Yang penulis cermati dari keterangan saksi ahli ini dan dalam persidangan yang berlangsung Kamis lalu (2016-08-18):

- Terdakwa memiliki banyak masalah yang mengganggu dirinya terkait Patrick, mantan pacarnya.

- Terdakwa memiliki kecenderungan membahayakan dirinya dan orang lain; terdakwa ternyata sempat 2x (kalau ingatan saya tidak salah) melakukan usaha bunuh diri. pertama dengan usaha mengiris tangannya, yang kedua dengan mencoba "meracuni" dirinya dengan barbeque grill didalam ruangan tertutup. 

sekedar informasi saja, menyalakan arang, batubara, ataupun kendaraan bermotor akan menghasilkan gas CO (Carbon Monoksida) yang sangat "mematikan" karena akan terikat lebih cepat kedalam sistem pernapasan manusia sehingga tidak bisa lagi menyerap oksigen. ini yang membuat korbannya tidak bisa bernafas. CO jauh lebih gampang terserap dan terikat dibanding O2 (Oksigen) yang digunakan oleh tubuh manusia untuk bernafas.

berita ini (https://www.mja.com.au/journal/2012/197/6/carbon-monoxide-induced-death-and-toxicity-charcoal-briquettes) mengenai contoh kasus kematian karena keracunan CO dari Briket yang dipakai untuk Barbeque.

- Terdakwa tidak memiliki kasus hukum pidana di Australia; terdakwa memang ada keharusan menghadiri persidangan di Australia untuk kasus kecelakaan mobil miliknya dimana Terdakwa disana mengendarai mobil dalam pengaruh (Driving Under Influence) Alkohol atau Obat (beberapa obat anti depresi ditemukan di rumah terdakwa) sehingga menabrak tembok panti jompo.

- Terdakwa pernah menunjukkan ketidaksenangannya di RS di Australia (entah mungkinTerdakwa dirawat karena usaha bunuh diri .. atau karena kecelakaan mobil itu) dan berkata bahwa dia tidak senang diperlakukan seperti pembunuh; dan kalau dia memang mau membunuh seseorang, terdakwa bisa dengan mudah mendapatkan senjata dan tahu dosis yang tepat untuk meracuni seseorang.

OK .... kita stop dulu disini ... keterangan ini menarik bagi Jaksa Penuntut Umum karena ini bisa membangun persepsi yang menunjukkan kaitan antara Terdakwa dengan Racun :)

Tapi sekali lagi, mari kita berhati-hati dalam hal presumptive evidence (barang bukti dari persepsi); disini penulis melihat persepsi ini dibangun diluar konteks percakapan yang ada dan terjadi saat itu.

Apakah Terdakwa menunjukkan kekesalannya kepada seseorang yang terdakwa ingin bunuh? Tidak kan? Terdakwa merasa kesal karena saat dirawat disana terdakwa diperlakukan seperti seorang pembunuh (yang digagalkan). Coba kita bandingkan dengan keadaan, misalnya pembaca terpaksa memanjat pagar rumah anda sendiri karena lupa bawa kunci (misalnya).

lalu tiba-tiba ada yang melihat pembaca memanjat pagar, berteriak "maling!!" sampai akhirnya saudara mungkin jatuh, terluka, dibawa ke RS, lalu disana anda mendapatkan treatment dari perawat2 tapi sikap mereka tidak menyenangkan anda karena anda diperlakukan seperti maling yang terluka. ada orang yang bisa-saja berkata "enak saja nganggep gue maling ... gue bla bla bla" atau mungkin tersilap kata-kata seperti "awas lu ya, dimana rumah lu, gua datengin juga ntar rumahmu"

Di sisi yang lain, dari keterangan Saksi Ahli Psikiatri Forensik berkaitan dengan kehidupan Terdakwa di Australia ... justru yang terlihat jelas adalah bahwa tidak adanya unsur-unsur kebencian Terdakwa atas Korban.

Ini menjadi menarik di persidangan ini karena Terdakwa dikenakan Pembunuhan Berencana (yang memerlukan motif; beda dengan pembunuhan "biasa") dan dikatakan motifnya adalah "sakit hati" atau "kebencian" terdakwa atas korban karena dinasehati untuk putus dari pacarnya.

Ini semakin menarik. Dalam keterangan Saksi Ahli Psikiatri Forensik, dikatakan bahwa Terdakwa sangat menghargai dukungan dari orang-orang didekatnya apalagi dalam masalahnya menghadapi Patrick ini. 

Memang benar Terdakwa menaruh ekspektasi atau harapan yang tinggi untuk support dari orang-orang yang dia harapkan didekatnya ... tapi ini dalam konteks menghadapi masalah bersama Patrick ini.

Dan melihat 2 kali Terdakwa berusaha bunuh diri - yang notabene berarti "meninggalkan" Pacarnya ini - Secara Logika, Penulis melihat bahwa Terdakwa sebenernya tidak berkeberatan meninggalkan pacar (atau mantan pacarnya?) ini.

Ini bisa dibiang kontradiktif dengan kesaksian-kesaksian yang mengatakan bahwa Terdakwa sakit hati karena Korban menasehati Terdakwa meninggalkan Pacarnya:

1. Terdakwa tidak pernah menunjukkan sakit hati atau kebencian terhadap Korban.

2. Terdakwa tidak pernah menunjukkan "keberatan" meninggalkan pacarnya - buktinya dia berani berusaha bunuh diri.

Kaitannya dengan Observasi dan Teori yang ada? (kasus mirna dan investigasinya)

Nah .... kesaksian-kesaksian dari Ahli Psikologis Klinis dan Ahli Psikiatri Forensik ini, dalam observasi penuis, tidak menggugurkan teori yang dibangun dalam tulisan tersebut.

justru ini menguatkan teori tersebut. Kenapa?

Dalam Teori tersebut, Kejadian di Kafe Olivier bukanlah kejadian dan lokasi pembunuhan berencana ... tapi lebih kepada facade atau semacam tampilan luar saja untuk menyelubungi sesuatu.

Dalam Observasi dan Inference yang Penulis lakukan, pembunuhan sebenarnya terjadi di dalam mobil yang membawa Korban, Teman Korban, Suami Korban, dan Terdakwa dari Klinik di Grand Indonesia ke RS Abdi Waluyo.

Yang menguatkan Teori ini adalah, karena seseorang yang membunuh Korban (baik yang melakukan, sebagai trigger-man atau trigger-woman; dan juga aktor intelektual atau mastermind dibelakangnya) mempunyai akses atas kehidupan masa lalu Terdakwa, tahu apa saja yang bisa menjadi "kelemahan" terdakwa kalau Terdakwa ini benar-benar masuk dalam persidangan di Indonesia.

Mereka (Trigger-Man/Woman + Mastermind) ... tahu apa saja yang Terdakwa pernah katakan yang kalau dilakukan investigasi kesana, akan ketemu; dan ya memang benar, ketemu beberapa "serpihan" atau "potongan" yang bisa membangun persepsi kesana ... tetapi yang jelas dari kesaksian dua ahli ini adalah bahwa:

1. Terdakwa tidak memiliki kebencian atau rasa sakit hati apapun kepada Korban.

2. Terdakwa sangat menghargai bantuan orang2 didekatnya dalam menghadapi hubungannya yang rumit/ribet dengan (mantan?) pacarnya.

3. Terdakwa sebenarnya tidak memiliki "keberatan" dalam pertimbangannya untuk meninggalkan (mantan?) pacarnya; bahkan Terdakwa "rela" melakukan bunuh diri (meski digagalkan) untuk meninggalkan (mantan?) pacarnya itu.

4. Terdakwa memang memiliki potensi "membahayakan" orang lain...tapi dari rekam jejak yang ada, membahayakan orang lain ini tampak sebagai collateral damage atas tindakan Terdakwa membahayakan dirinya sendiri. bukan berupa tindakan inisiatif untuk membahayakan orang lain disekitarnya (memang katanya Terdakwa pernah "mengancam" Kristi / Christie ... tapi itu tidak pernah menjadi suatu tindakan pidana; itu sebatas omongannya.)

Mari kita simak kelanjutan sidang ini .. seingat penulis, Kamis Nanti (2016-08-25) akan menghadirkan seorang saksi ahli toksikologi forensik dari Bali yang benar-benar mendalami ilmu Toksikologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun