- Beberapa waktu terakhir atau sejak KUHP disahkan santer berita tentang Indonesia berpotensi alami resesi seks atau penurunan jumlah angka kelahiran. Benarkah begitu?
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keberagaman sumber daya manusianya. Termasuk juga keberagaman dalam beragama. Indonesia adalah negara dengan mayoritas umat muslim terbanyak di dunia. Oleh karena itu, sejak jaman dahulu masyarakat Indonesia sangat kental dengan prinsip banyak anak banyak rejeki.Â
Prinsip itu dilatar belakangi oleh hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi "Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan wanita-wanita tersebut berpotensi untuk memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya aku akan merasa bahagia karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya" (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i, Baihaqi, At-Thabarani)
Berkaca dari negara Jepang, mayoritas masyarakatnya memilih untuk tidak menikah karena saat dua insan yang saling mencintai ketika memutuskan untuk menikah akan menghadapi berbagai risiko seperti sang wanita harus berhenti bekerja,tanggungjawab untuk menghidupi istri bagi sang pria, serta tingginya biaya hidup di Jepang apalagi jika pasangan tersebut dikaruniai anak. Ditambah lagi, keputusan masyarakatnya untuk tidak menikah tidak melanggar syari'at agama dan hukum apapun yang berlaku dinegaranya.Â
Hal tersebut sangat bertentangan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Islam mewajibkan umatnya untuk menikah sebelum melakukan hubungan seksual, yang mana kita ketahui hubungan seksual merupakan kebutuhan biologis yang sulit untuk dihindari.Â
Belum lagi lingkungan masyarakat Indonesia yang menentang adanya kohabitasi dan mendukung menikah. Bahkan menikah dikatakan sebagai tujuan hidup saat individu sudah berada diusia dewasa.
Alasan yang melatarbelakangi berita tentang resesi seks yaitu meningkatnya tuntutan hidup bagi individu yang sudah dewasa, meningkatnya gengsi, maraknya berita tentang perceraian, dan kesadaran akan tanggungjawab.
- Meningkatnya tuntutan hidup
Resesi seks marak terjadi digenerasi Y akhir. yaitu individu-individu yang belum mampu mencapai standar sukses masyarakat dan terlanjur terbebani dengan tuntutan hidup baru yang dialami oleh generasi dibawahnya.Â
Generasi Y atau milenial sangat kental dengan standar sukses usia 25 tahun harus memiliki tabungan 100 juta, gaji minimal 2 digit, memiliki rumah, dan mobil.Â
Bagi individu yang tidak menjadi sandwich generation mungkin memiliki peluang lebih besar untuk berproses mencapai stadar tersebut, namun bagaimana dengan individu yang terlahir sebagai sandwich generation? tahu tahu sudah berumur 25 tahun tapi masih ada adik yang bersekolah.Â
Ketika mereka memutuskan untuk menikah dan mencari pasangan, wanita-wanita digenerasinya yang masih jomblo mayoritas telah menjadi individu yang sukses secara finansial, sehingga yang terjadi adalah perasaan insecure.Â
Namun, ketika mencari pasangan dari generasi dibawahnya, yang notabene memiliki standar sukses well-being akan sulit menerima kenyataan bahwa individu tersebut masih memiliki tanggungan besar dikeluarganya. Alhasil, mereka memilih untuk fokus lagi pada dirinya.
- Meningkatnya gengsi
Sebenarnya, menikah dalam Islam itu cukup mudah (dalam konteks penyelenggaraan) cukup dengan mengucapkan ijab qobul dan memberikan mahar yang tidak memberatkan pria dan tidak merendahkan wanita.Â
Namun, zaman telah berubah, Masyarakat Indonesia sangat kental dengan gengsi. Ketika menikah, harus mengadakan pesta yang meriah, besar, membuat orang-orang takjub. Karena jika mereka hanya menyelenggarakan pernikahan sederhana mereka sangat rentan menjadi bahan gosip.Â
Gengsi ini juga akhirnya membuat kebanyakan orang tua menetapkan sejumlah mahar yang memberatkan calon suami anaknya dengan dalih 'saya telah menghidupkan anak saya dengan penuh kasih sayang, dibiayai sekolah, perawatan tubuh, dan sebagainya'. Sehingga gengsi ini sangat menjadi bahan pertimbangan bagi generasi dewasa siap menikah saat ini jika ingin memutuskan untuk menikah.
- Maraknya berita tentang perceraian
Tidak ada satupun individu yang menikah dengan tujuan untuk bercerai. Rumah tangga kerap dianalogikan dengan bahtera ditengah laut. Ada kalanya tenang, ombak kecil, ombak besar, terik, sampai badai.
Hal yang membuat saya memiliki sedikit trauma dengan menikah adalah ketika ada individu yang membagikan kisah kegagalan pernikahannya dengan masalah yang beragam, mulai dari perekonomian, suami yang tidak bertanggungjawab, ketidaksamaan tujuan dengan mertua, keluarga yang terlalu mengatur, ipar, perselingkuhan, ketidaktransparan gaji dan pengeluaran, dan lain sebagainya.Â
Hal ini tentu saja bukan menjadi pelajaran, tapi sebuah momok menakutkan seolah-olah menikah bukanlah pilihan yang tepat jika ingin bahagia.Â
Namun, cerita-cerita tersebut tentu saja akan menjadi pelajaran bagi orang yang membacanya jika penulis juga menuliskan solusi, saran, dan lain sebagainya.
- Kesadaran akan tanggungjawab
Perasaan trauma dari keluarga sebelumnya dan keinginan kuat untuk memberikan hidup yang bahagia untuk sang buah hati kelak membuat individu mempersiapkan banyak hal sebelum menikah demi keberlangsungan hidup sang buah hati dimasa depan.Â
Mereka sadar bahwa kebutuhan hidup sang buah hati tidak hanya sekedar makan, tapi juga pendidikan, dan figur/role model orang tua untuk anak.Â
Hal ini tentu saja bukan berarti individu yang sadar akan tanggungjawab dengan sang buah hati tidak percaya dengan janji Allah yang akan menanggung rejeki makhluk ciptaan-Nya.Â
Dari pemaparan diatas, sebenarnya masih banyak hal hal lain yang melatarbelakangi ancaman resesi seks dan ketakutan akan menikah. Sejak kecil saya selalu diajarkan bahwa Allah menciptakan akal bagi manusia untuk menjalani kehidupan sebaik-baiknya dalam menjalankan tugas sebagai khalifah dimuka bumi.Â
Oleh karena itu, menurut saya Indonesia tidak akan mengalami resesi seks jika mayoritas masyarakatnya masih berpegang pada prinsip banyak anak banyak rejeki namun dengan resiko banyaknya anak tersebut akan beresiko terjadinya penelantaran.Â
Hal lain yang dapat diterapkan untuk mencegah terjadinya resesi seks atau ketakutan pernikahan adalah dengan edukasi meluas tentang parenting dan kesadaran masyarakat bahwa gengsi bukanlah yang utama.
sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H