Sudah 4 tahun sejak diriku lulus Sekolah Menengah Kejuruan.
Sore ini, setelah pulang bekerja seperti biasa aku membuka sosial media instagram dan yahhh, temanku memposting foto wisuda S-1nya. Aku mengamati wajahnya, ekspresinya, dan membayangkan suasana yang ada dari foto tersebut. Dan, krekk hatiku serasa hancur. Bayang-bayang prestasi yang pernah diraih semasa sekolah tiba-tiba menyerang hatiku, merusak, dan melubanginya. Seolah menuntut diriku yang saat ini untuk bertanggungjawab akan mimpi yang pernah diperjuangkan oleh masa laluku.
Aku lahir dari keluarga dengan perekonomian menengah kebawah.
Aku adalah anak tengah
Aku memiliki 2 adik dengan rentang usia yang cukup dekat yaitu 1 tahun 7 bulan dan 5 tahun.
Nasibku sama seperti anak yang lain, hidup dilingkungan yang mayoritas masyarakatnya tidak berani bermimpi, tidak memiliki keinginan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, dan cenderung mengintimidasi orang yang berupaya untuk merubah nasib.
Suara gaduh, teriakan, dan ocehan tak beradap adalah hal yang biasa.
Aku sangat bersyukur karena Mamaku adalah orang dengan pikiran yang berbeda dari yang lainnya.
Mamaku tidak mengenyam pendidikan formal, beliau berasal dari Jawa Tengah, dan putus sekolah karena menyerah dengan ketidakberdayaannya dan memutuskan untuk merantau demi mengubah nasib.
Mimpinya yang besar dan kegigihan untuk meraih mimpi membuat Mama mendidik anak-anaknya dengan keras.
Demi kebaikan,
Demi masa depan yang lebih baik untuk anak-anaknya.
Itulah yang menyebabkan diriku, kakak-kakak dan adik-adikku terbiasa menjadi juara kelas.
Air mata mengalir begitu saja
Aku iri dengan teman-temanku yang mampu melanjutkan pendidikan sampai kejenjang perguruan tinggi.
Aku?
Aku lulus SMK diusia yang sangat muda, 16 tahun. Normalnya usia lulus SMA/SMK adalah 18 tahun.Â
Sebelum Ujian Nasional dilaksanakan, guruku memintaku untuk mendaftar ke perguruan tinggi negri, beliau memotivasiku bahwa biaya bukan masalah besar. Tapi aku tetap menolak dan tak pernah mencoba.Â
Ayahku sudah pensiun, Ibuku hanya ibu rumah tangga, Aku masih memiliki 2 adik.
Selalu hal itu yang menjadi alasan kuat diriku memutuskan untuk bekerja.
Aku bekerja diberbagai toko sambil masih aktif diorganisasi Kepramukaan sambil menunggu waktu untuk bekerja di PT.
Tepat usia 18tahun, diriku menjalani training disebuah perusahaan besar, Alhamdulillah gajiku UMR.
Sekarang usiaku 21 tahun
Salah satu adikku sudah bekerja
Aku ingin kuliah
Aku rindu belajar
Belajar memang bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja
Tapi mengenyam pendidikan dibangku kuliah adalah mimpiku sejak kecil
Mereka (diriku dimasa lalu) seolah kembali mengusik pikiranku, menuntutku untuk kembali membuat mimpi.
Tak apa sudah terlambat dari teman yang lain, (mereka menyemangati)
Kali ini ketakutanku berbeda
Aku takut berhenti ditengah jalan karena ketidakmampuan finansial
'Bisa kuliah sambil bekerja' kata mereka
Aku takut tidak bisa membagi waktu, mengingat jadwal bekerjaku memberlakukan sistem shift
'Jalanin dulu' kata mereka
Akhirnya aku memutuskan untuk membicarakannya kepada Mama,
Mama bilang 'Ayo! Kamu pasti bisa. Jangan pikirin biaya. Mama gapapa gak dikasih uang bulanan, yang penting kamu kuliah, demi masa depan kamu. Jangan seperti Mama'
Setelah itu aku berdoa minta dikuatkan mental, pikiran, dan fisikku agar bisa menjalaninya dengan lancar dan penuh hikmah.
Dan Alhamdulillah, IP semester 1ku 3,7 meskipun harus merasakan rawat inap karena tipes diawal awal perkuliahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H