Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah Saw. mendiktekan kepada para sahabat bahkan beliau menunjuk beberapa sahabat sebagai juru tulis. Rasulullah Saw. tidak hanya mendiktekan ayat-ayat yang turun, tetapi juga memberikan petunjuk letak ayat itu di mana (Ilyas, 2013). Ibnu Abbas mengatakan, "Jika satu surat diturunkan kepada Rasulullah Saw., beliau memanggil sebagian penulis wahyu kemudian memerintahkan: Letakkan surat ini padatempat ini, begini-begini." (HR. Tirmidzi).Â
Dalam pemahaman di atas, Alquran memang sudah ditulis oleh para penulis wahyu sejak zaman Rasulullah, namun baru dihimpun dan dikumpulkan dalam satu mushaf beberapa tahun setelah wafatnya Nabi (Sirry, 2017). Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa Alquran mulai dihimpun pada zaman Abu Bakar atas usulan dari Umar bin Khattab. Umar khawatir jika Alquran tidak segera dibukukan -mengingat semakin banyak penghafal Alquran yang gugur dalam peperangan, maka Alquran bisa saja "terlupakan". Para penghafal Alquran merupakan orang-orang pilihan dari zaman Nabi yang bertanggung jawab menjaga keaslian Alquran.Â
Pendapat itu akhirnya disetujui oleh Khalifah Abu Bakar dan segera menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai orang yang dipercaya untuk memulai pengumpulan Alquran. Proyek ini ternyata memakan waktu cukup lama, sampai pada Khalifah ketiga yaitu Usman bin 'Affan. Pada masa Usman, wilayah Islam semakin meluas dan mulai terdapat berbagai kelompok muslim membaca Alquran dengan bacaan yang berbeda-beda (Sirry, 2017). Dengan situasi seperti ini, Khalifah Usman membentuk komisi untuk menyatukan bacaan Alquran. Maka, Alquran (baca: mushaf) yang sampai pada kita saat ini merupakan hasil dari komisi yang dibentuk tersebut.
 Â
Tuduhan dari Sarjana Barat
 Uraian singkat tentang sejarah kanonisasi Alquran di atas ternyata masih menyisakan bahan perdebatan dari seorang sarjana revisionis
[3], yaitu Wansbrough (2004) yang menggunakan dua metode analisis dalam mengkritik Alquran: analisis sumber (source analysis) dan analisis bentuk (form analysis).Â
Analisis pertama digunakan untuk menelisik fakta sejarah dan mendekonstruksi sumber-sumber muslim tradisional, seperti sirah nabi, hadis, dan tafsir. Analisis kedua digunakan untuk memaparkan inkonsistensi ayat-ayat Alquran, seperti yang kita tahu bahwa kisah-kisah dan ide-ide dalam Alquran sering diulang-ulang dengan versi berbeda-beda.
Sebagian sarjana barat beranggapan bahwa hasil kanonisasasi yang dilakukan di masa Usman tidak lengkap dan tidak sistematis (Sirry, 2017). Tuduhan seserius ini, bagi sebagian umat Islam menjadi hal yang tidak nyaman karena kitab suci Alquran sudah dianggap sebagai sesuatu yang final dan terjaga kebenarannya. Memang, tidak semua sarjana barat memiliki pandangan yang sama atau monolitik. Di antara mereka sering beradu pandangan merupakan hal lazim, sama halnya ketika mereka mengkritik Bibel (Alkitab). Bagi para sarajana barat, Alquran memiliki kedudukan yang sama dengan teks atau kitab suci lain (profan). Jadi salah besar jika mengganggap semua sarjana barat atau revisionis memiliki misi untuk "menghancurkan" Islam meskipun kita tidak menutup kemungkinan dugaan itu ada benarnya.
Jika mau dikumpulkan semua, ternyata tuduhan yang dilakukan oleh sebagian sarjana revisionis atau kerap disebut sebagai orientalis ini berjumlah 12 tuduhan (Ilyas, 2013). Abu Bakar dan Usman dianggap sebagai aktor utama yang telah memalsukan dan menghilangkan sebagian ayat-ayat dan surat Alquran, karena sebenarnya Alquran yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat. Banyaknya ayat-ayat Alquran yang hanya berasal dari hafalan para sahabat, sementara banyak sahabat yang gugur dalam peperangan, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa Zaid bin Tsabit "hanya" bisa menghimpun ayat-ayat dari hafalan para sahabat yang masih hidup.
Zaid melaporkan bahwa pada waktu mushaf Alquran ditulis, bagian terakhir surat at-Taubah hilang dan hanya ditemukan dalam catatan Khuzaimah Al-Anshari. Ubay bin Ka'ab membaca surat al-Bayyinah dalam versi berbeda yang ia klaim didengarnya dari Nabi, termasuk dua ayat yang tidak tercatat dalam teks Usmani.Â