Islam sebagai agama yang diridai Allah swt. sekaligus menjadi satu-satunya jalan menuju kebenaran yang hakiki kini sedang mengalami berbagai tantangan. Jika zaman dulu tantangan datang dari orang-orang di luar Islam, seperti kaum orientalis dan kolonialis, kini tantangan itu hadir dari pemeluk agama Islam itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh kaum liberalis, sekularis dan pluralis. Islam mulai digoyahkan posisinya oleh sebagian tokoh muslim yang menamakan dirinya sebagai “pembaharu” dengan mengklaim bahwa apa yang mereka kemukakan sesuai dengan prinsip Islam.
Prinsip dalam mengedepankan akal atau logika dalam menentukan hukum-hukum memang dibolehkan sepanjang tidak menabrak kaidah-kaidah yang sudah disepakati oleh para ulama. Liberalisme merupakan bagian dari paham pluralisme yang kini tumbuh subur di ruang-ruang akademis. Prinsip dasar liberalisme adalah kebebasan yang tak terbatas dalam pemikiran keagamaan.
Kaum liberalis beranggapan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar pada semua dimensi Islam, sehingga Al Quran sebagai wahyu akan diinterpretasi ulang sesuai dengan kehendak mereka. Mereka juga meyakini kebenaran dalam Islam bersifat relatif, terbuka, dan plural, kemudian mereka juga memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, serta otoritas keagamaan dan otoritas politik. Sehingga sangat jelas, golongan ini mengahalalkan segala cara agar Islam menjadi lemah dan tidak memiliki kewibawaannya lagi. Fenomena ini dinamakan dengan perang pemikiran (ghazwul fikri).
Dalam konteks Islam, pemikiran liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup bangsa Barat. Dalam teori posmodernisme diyakini bahwa teori tersebut anti dengan kemapanan, artinya ada upaya untuk merombak segala hal yang sudah mapan, seperti mendekonstruksi pemahaman keislaman yang selama ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, kemudian mereka juga melakukan dekonstruksi dan desakralisasi Al Quran sebagai kitab suci, dan sebagainya. Paham pluralisme menyatakan bahwa semua agama benar, sepanjang disandarkan kepada “Tuhan”. Kalaulah memang benar demikian kenapa dalam Al Quran menegaskan bahwa Islamlah agama yang diridai Allah seperti yang dapat ditemukan dalam surat Ali Imran ayat 19:
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya.
Agama Islam memiliki beberapa dimensi yang harus dipahami oleh pemeluknya, seperti dimensi akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Dalam dimensi akidah, ibadah, dan akhlak bersifat mutlak dan beku atau tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Ketiga dimensi tersebut sudah menjadi prinsip dalam Islam yang dapat ditemukan di Al Quran dan As Sunah. Dalam dimensi muamalah, Islam memberikan kebebasan penuh kepada setiap manusia untuk mengembangkannya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam seperti dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, budaya, sosial, politik, ekonomi, dsb. Seringkali terjadi salah pasang antara kedua hal tersebut, yang seharusnya dibekukan justru dicairkan dan dikembangkan, dan yang seharusnya dikembangkan justru malah dilestarikan dan disakralkan. Islam hadir dalam dimensi ruang dan waktu yang selalu relevan dengan zaman. Tugas kita sebagai seorang muslim yang taat jangan sampai ikut-ikutan mereduksi kesempurnaan agama Islam ini, jangan sampai paham liberalisme dan pluralisme agama merasuki diri kita. Kita jangan sampai menukar akidah dengan kenikmatan dunia yang sangat remeh-temeh ini, demi memperoleh pujian dari sesama manusia. Jangan sekali-kali bermain-main dalam hal agama, seperti beranggapan bahwa semua agama sama demi memperoleh predikat sebagai orang paling toleran. Naudzubillah! Oleh karena itu, mari kuatkan tekad dan amal saleh kita untuk terus hidup di bawah bimbingan Al Quran.
Pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme agama. Fatwa tersebut merupakan respons atas “perdebatan telogis” di kalangan tokoh muslim. Dalam rumusan MUI, pluralisme agama dimaknai sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenannya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Mungkin inilah kesalahan penafsiran antara pluralisme dan toleransi. Toleransi memang dianjurkan dalam Islam, namun bukan pluralisme agama. Membantu sesama manusia dianjurkan tapi tidak masuk dalam ritual keagamaan. Islam memiliki prinsip yang sangat tegas bahwa dalam aspek akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif, dalam artian tidak boleh mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Lakum dinukum waliyadin ‘untukmu agamamu, dan untukku agamaku’ (QS. Al Kafirun: 6). Dalam konsep toleransi, bagi umat Islam yang tinggal berdampingan dengan pemeluk agama lain, dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, justru umat Islam dianjurkan bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan atau interaksi sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Oleh karena itu, untuk menangkal “virus” liberalisme dan pluralisme agama, kita jadikan Al Quran sebagai rujukan utama dalam setiap langkah kehidupan. Agama Islam sebagai agama yang diridai Allah telah mengatur segala aspek kehidupan dan diabadikan dalam kitab suci Al Quran.
Al Quran sebagai way of life
Al Quran bagi umat Islam adalah kitab suci. Al Quran adalah kalam ilahi (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril. Tidak ada kitab suci dari agama lain yang mampu menandingi kehebatan Al Quran, karena kebenaran di dalam Al Quran selalu dapat dibuktikan meskipun kitab suci ini diturunkan pada 15 abad yang lalu. Penghormatan umat Islam terhadap kitab suci ini sungguh luar biasa. Tidak hanya dibaca saat melakukan ibadah, melainkan pada waktu-waktu tertentu.
Kemudian saat dikaji, baik dari segi tafsir maupun hikmahnya, selalu ada pemahaman baru serta menambah keimanan bagi yang mau mempelajarinya. Menghafal Al Quran 30 juz merupakan bentuk budaya keberagaman umat Islam yang tidak ditemukan dalam budaya agama-agama lain. Belum lagi, melombakan tilawah Al Quran yang juga ada dalam budaya Islam. Di dalam Al Quran tidak hanya membahas persoalan ibadah atau ritual, melainkan juga masalah umum lainnya.
Mengingat pentingnya umat Islam selalu dekat dengan bimbingan Al Quran atau sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa (QS. Al Baqarah: 2), maka Al Quran haruslah menjadi sumber patokan, sumber inspirasi, dan sumber pedoman bagi seluruh aspek kehidupan umat Islam di manapun ia berada. Bahkan, ada adagium yang mengatakan: “kembali kepada Al Quran dan As Sunah” atau “al ruju’ ila Al Quran wa al sunnah” yang sangat populer dalam kehidupan umat Islam era sekarang dalam beragama, bersosial, berbudaya, berpolitik, dan berekonomi.
Allah swt. telah berjanji kepada kita, dan janji-Nya tak mungkin diingkari, yaitu akan menjadikan kaum beriman berkuasa dan kedudukan mereka akan diteguhkan. “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai.
Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An Nur: 55).
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku bagi pemenuhan janji tersebut? Yaitu dengan tetap istiqamah mengabdi hanya kepada Allah, berpedoman hanya kepada petunjuk Allah, serta tidak menyekutukannya dengan apa pun juga dalam semua aspek kehidupan. Kita patut bersyukur diberikan oleh Allah berupa hidayah dengan ditunjukkan jalan kebenaran melalui agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu’alam Bishowab
Fastabiqul Khairat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H