Islam sebagai sebuah agama, tentunya tidak pernah lepas dari budaya suatu masyarakat. Begitu kayanya negeri ini dengan segudang tradisi budaya yang dapat bersenyawa dengan nilai-nilai Islam. Islam dapat diekspresikan melalui budaya-budaya lokal dengan kekhasan tersendiri. Misalnya, pada saat penyambutan bulan Ramadan, di berbagai daerah terdapat berbagai tradisi yang secara turun-temurun dilakukan. Di Kabupaten Kudus dapat dijumpai tradisi “dandangan” yang rutin dilakukan setiap menjelang masuknya bulan Ramadan.
Dalam sejarahnya, dandangan adalah tradisi berkumpulnya para santri di depan masjid Menara Kudus setiap menjelang bulan Ramadan untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa. Dalam perkembangannya, tradisi ini dimanfaatkan pula oleh para pedagang untuk menjajakan dagangannya di sekitar masjid dan juga diselenggarakan kirab dandangan oleh pemerintah daerah yang melibatkan peserta dari berbagai sekolah dan elemen masyarakat lainnya.
Lain halnya di Yogyakarta, dapat dijumpai tradisi “padusan” dengan cara mandi di sungai maupun pantai. Tradisi padusan ini merupakan budaya campuran Jawa dan Islam dengan tujuan menyucikan diri sebelum memasuki bulan puasa. Padusan berasal dari kata “adus” dalam bahasa Jawa yang berarti “mandi”. Sebagian masyarakat Jawa melaksanakan tradisi ini sehari menjelang tanggal 1 Ramadan.
Ihwal Mudik dan Lebaran
Berbeda dengan tradisi menjelang masuknya bulan puasa, tradisi yang dilakukan pada saat mendekati lebaran, yaitu sebagai besar masyarakat Indonesia melakukan mudik. Tradisi mudik ini hanya bisa dijumpai di Indonesia, bahkan di negara-negara Arab sekalipun tidak mengenal tradisi mudik ini. Mudik biasanya tidak pernah lepas dengan kemacetan di jalan raya yang kerap kita temukan pemberitaannya di berbagai media cetak maupun elektronik, atau bahkan kita sendiri sering merasakannya. Memang mudik dan kemacetan ini seperti dua sisi mata uang. Semacet apapun di jalan, seolah akan terbayarkan lunas ketika pemudik telah sampai di kampung halaman. Karena perjumpaan dengan sanak keluarga adalah tujuan mereka melakukan mudik.
Mudik adalah kata yang familiar di negara kita sebagai penanda akan datangnya hari besar umat Islam di Indonesia. Selain itu, mudik adalah kata yang mengalami peningkatan martabat, karena kata ini semakin jauh dari makna aslinya, yakni “mengudik” atau “menuju udik”. Kata “udik” pernah menjadi bahan ejekan bagi orang yang tertinggal dari kemodernan, kampungan, dan tidak berpendidikan. Ungkapan “dasar udik” atau “maklumlah, dari udik” menjadi ekspresi untuk merendahkan seseorang. Keadaan menjadi berubah ketika berjuta-juta orang melakukan tradisi mudik. Kata “udik” pun mengalami pergeseran makna, yang semula merendahkan sekarang menjadi tren bagi sebagian besar masyarakat kita.
Dalam konteks kaidah bahasa Indonesia, pemberian imbuhan yang tidak standar pun tidak menjadi persoalan yang berarti. Justru dengan hadirnya kata “mudik” dapat memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia (lihat KBBI). Jika menyesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, maka kata “mudik” seharunya berbentuk “mengudik”. Fenomena pembentukan kata yang tidak sesuai kaidah ini sama halnya dengan kata “mundur” yang berasal dari kata “undur” yang seharusnya menjadi kata “mengundur”, namun akhirnya kata “mundur” menjadi kata dasar tersendiri.
Kata “udik” sebagai lawan makna dari kata “hulu” merupakan generalisasi terhadap lokasi peradaban. Peradaban yang dinamis dan kompleks memang biasanya berkembang di hulu (muara sungai, tepi sungai, atau pantai). Orang-orang yang tinggal di hulu disebut orang kota. Sedangkan yang bertahan di udik disebut orang kampung atau orang desa. Kota dianggap sebagai representasi peradaban yang halus, karena orang kota biasanya kosmopolitan dan memiliki perbedaan yang beragam. Tidak aneh jika padanan kota adalah “urban”, bahasa Latin yang artinya “halus”.
Sebaliknya, orang-orang yang kurang halus atau terlalu lugu kerap diidentikkan dengan “kampungan”, “ndeso” dan juga “udik”. Beruntunglah ada kata “mudik” sehingga kata “udik” tidak selalu bermakna jelek. Bahkan mudik tak harus bermakna jeda liburan dari kota ke desa. Dari kota tempat tinggal ke kota kelahiran (bukan kampung) pun disebut mudik.
Kepulangan dari kota di luar negeri ke kota besar di Indonesia untuk berlebaran pun dianggap mudik. Bahkan, orang kota yang bekerja di pelosok Indonesia, kemudian kembali ke kotanya untuk lebaran pun juga disebut mudik. Inilah fenomena menarik di masyarakat kita dalam mengekspresikan budaya Islam yang tidak ditemukan di negara manapun.
Tradisi mudik merupakan produk kultural Islam di Indonesia. Kaum muslim maupun nonmuslim bisa memanfaatkan momentum lebaran dengan cara berkumpul di daerah asalnya. Istilah “lebaran” itu pun khas Indonesia, tidak dikenal di Arab, yang menyebutnya “eid mubarak” (hari berkah). Uniknya, tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana lahirnya kata “lebaran” itu. Penggunaan istilah “lebaran” yang sangat lokal ini menjadikan hari raya Idul Fitri seolah-olah menjadi hari raya bersama bagi seluruh warga Indonesia.
Sebelum lebaran tiba, umat Islam melakukan ibadah puasa selama sebulan penuh. Dalam konteks ini juga ditemukan fenomena menarik dalam istilah “buka puasa”. Makna “buka puasa” agak aneh karena justru menjadi “penutup” puasa (setelah seharian berpuasa), karena makna “buka puasa” berarti mengakhiri puasa. Puasa justru “dibuka” dengan makan sahur menjelang fajar. Sekali lagi, tidak perlu dipusingkan dalam memahami istilah-istilah ini, karena yang penting istilah ini efektif digunakan dalam berbahasa di masyarakat sebagaimana ajaran mazhab deskriptif (lawan dari preskriptif) dalam teori bahasa.
Umat Islam di negeri ini kaya dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan, lantaran mayoritas penduduk di negeri ini beragama Islam, bahkan terbesar di dunia. Puasa di bulan Ramadan dengan segala rangkaian ibadahnya sangat semarak dan penuh syiar setiap tahunnya. Di kota pelajar, seperti di Yogyakarta, para mahasiswa yang jauh dari keluarga seringkali memanfaatkan momentum bulan puasa untuk “berburu” kajian-kajian menjelang berbuka puasa dan demi memperoleh takjil gratis. Bahkan sampai Ramadan tahun ini penulis seringkali termasuk dalam gerakan “para pencari takjil” (PPT) ini dengan cara “bersafari” dari masjid satu ke masjid yang lain.
Ketika malam Idul Fitri tiba, sebagian besar masyarakat bertumpah ruah ke jalan untuk melakukan tradisi takbir keliling. Biasanya setiap daerah mengadakan perlombaan takbir keliling sebagai wujud syiar keagamaan bahwa esok hari umat Islam akan merayakan hari besarnya. ketika Idul Fitri tiba, setelah melaksanakan salat id di tanah lapang maupaun di masjid, biasanya para umat Islam berkunjung ke rumah tetangga, kerabat, dan sanak keluarga untuk saling bermaaf-maafan.
Saling bermaaf-maafan ini memang tidak diharuskan hanya saat lebaran tiba, namun momentumnya yang mengharuskan mereka untuk saling memaafkan sekaligus mendoakan satu sama lain sebagai bukti mereka telah meraih kemenangan. Dalam tradisi kota disebut “open house”, syawalan, atau halal bi halal (tidak ada dalam istilah bahasa Arab) yang kerap dilakukan oleh para pejabat, tokoh masyarakat, maupun instansi tertentu. Sekali lagi, budaya ini hanya dapat ditemukan di Indonesia. Satu agama (Islam) dengan berjuta ekspresi budaya yang diwujudkan!
Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1437 H.
Taqobbalallahu minna waminkum.
Mohon maaf lahir dan batin.
Faisal Isnan
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
(Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dan
Anggota Bidang Dakwah dan Pengkajian Agama
Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H