ZOMBI AYAM
Ini pengalaman masa kecil yang takkan pernah terlupakan. Ketika itu, Eyang Putri yang pantang beli ayam potong di pasar, minta tolong Pak Tun, petugas pemadam kebakaran dan suami Mbok Yem untuk menyembelih seekor ayam jantan besar bebulu hitam, berjengger hitam, berkaki hitam pula. Itu ayam cemani, jelas Eyang Putri. Dia seperti batman, pikirku ketika itu, besar, gagah, sepertinya tak terkalahkan juga.
Kulihat Pak Tun mengasah pisau dapur dengan seksama hingga tajam dan berkilat, sementara Mbok Yem mengikat kaki si batman yang tabah, tak menangis. Aku bertanya-tanya, apakah dia tahu akan dimasak gulai ayam oleh Eyang Putri.
Aku berjalan mendekati Pak Tun yang sedang mencabuti sebagian bulu leher si batman. Si batman tetap tenang. Kuulurkan tanganku untuk mengusap jengger hitamnya. Tiba-tiba kelopak matanya yang merah tua dan kasar berbintil kecil-kecil itu terbuka. Mata merahnya menatapku tajam. Aku kaget dan takut. Aku mundur. Pak Tun tertawa lirih.
"Nggapapa, Den. Kan kakinya sudah diikat sama Mbok Yem," katanya.
Kurasakan tangan Eyang Putri merengkuh bahuku, mungkin karena merasakan keteganganku. Aku mendongak pada beliau dan mencoba tersenyum.
"Takut?" tanyanya dengan lembut.
Aku mengangguk. Ini adalah pengalaman pertamaku. Sebelum ini, aku dan saudara-saudaraku tidak ada yang boleh menonton penyembelihan ayam. Tapi kali ini aku diijinkan Eyang Putri.
Pak Tun mencabut bulu leher terakhir si betmen yang mulai merintih lirih.
"Bismillah ..." bisik Pak Tun sebelum menggoreskan pisaunya pada leher batman dengan mantap dan dalam.
Mataku terbelalak mendengar si betmen melengking tinggi dan darah merah mengucur deras dari lehernya yang tersayat hampir memisahkan kepala dan badan tegapnya. Kudekap paha Eyang Putri yang tersenyum dan mengajakku masuk ke dalam.
Tapi tiba-tiba terdengar suara gedebak-gedebuk, bak-buk, keok-keok yang keras di belakangku, sementara suara Mbok Yem menjerit kaget dan Pak Tun terkekeh.
Begitu aku menoleh ke belakang, kulihat si batman terbang panik menabrak jajaran pohon pisang dan kandang ayam besar, dengan leher yang sudah setengah putus. Aku berlari ke halaman belakang lagi supaya bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Eyang Putri hanya mengawasiku dari ambang pintu.
Pak Tun melihat ku datang dengan mata terbelalak.
"Ngga apa-apa, Den. Memang begitu kalau ketiga urat lehernya ngga terpotong dengan sempurna. Mungkin tadi Pak Tun kurang dalam potongnya, jadi ada yang tidak terpotong dengan baik," jelas Pak Tun.
Mbok Yem memegangi tanganku yang agak gemetar.
Itulah pengalaman pertamaku melihat pemotongan ayam secara tradisionil. Sejak itu pula, aku selalu berkonsentrasi sejenak untuk menghilangkan citra mengerikan itu sebelum aku menyantap sate ayam atau ayam dimasak apa pun.
Ketika kuceritakan kisah itu pada cucukku, dengan mata terbelalak, Davin berkata, "Zombi ayam?"
Aku hampir tersedak kopi yang baru saja kusruput.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H