1. Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional lebih berorientasi pada manajemen sehari-hari dan pemeliharaan status quo. Dalam model ini, hubungan antara pemimpin dan pengikut bersifat pragmatis dan fungsional. Pemimpin transaksional fokus pada efisiensi, pengawasan ketat, serta memastikan bahwa tugas dan tanggung jawab dipenuhi oleh pengikut.
Pendekatan ini memiliki beberapa kesamaan dengan gagasan Aristoteles tentang episteme atau pengetahuan teoritis. Pemimpin transaksional biasanya memiliki pemahaman yang mendalam tentang bagaimana organisasi seharusnya beroperasi secara efisien dan efektif. Namun, pendekatan ini cenderung kurang memperhatikan dimensi etis dan kebajikan moral yang menjadi inti dari gagasan Aristoteles tentang kepemimpinan.
Dalam konteks ini, Aristoteles akan berargumen bahwa pemimpin transaksional mungkin efektif dalam jangka pendek, tetapi mereka gagal dalam membimbing pengikut mereka menuju kebaikan yang lebih besar atau eudaimonia. Pemimpin transaksional mungkin mengelola organisasi dengan baik, tetapi mereka tidak mendorong pengikut mereka untuk tumbuh sebagai individu yang lebih baik secara moral.
2. Kepemimpinan Transformasional
Sebaliknya, kepemimpinan transformasional lebih dekat dengan gagasan Aristoteles tentang phronesis dan kebajikan moral. Pemimpin transformasional tidak hanya fokus pada tugas-tugas harian, tetapi mereka juga memotivasi pengikut untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka. Mereka menginspirasi pengikut untuk terlibat dalam proses transformasi, baik pada tingkat pribadi maupun organisasi.
Salah satu contoh modern dari kepemimpinan transformasional adalah Nelson Mandela, yang selama masa kepemimpinannya di Afrika Selatan, berhasil memotivasi jutaan orang untuk berjuang demi kesetaraan, keadilan, dan persatuan nasional. Mandela tidak hanya memimpin dengan memerintah, tetapi ia juga memberi contoh melalui tindakan, menginspirasi pengikutnya untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan yang lebih besar. Tindakan Mandela sejalan dengan konsep Aristoteles tentang pemimpin yang berlandaskan pada kebajikan, karena ia selalu mengedepankan keadilan, moralitas, dan kebijaksanaan dalam kepemimpinannya.
Aristoteles akan melihat pemimpin transformasional sebagai contoh ideal dari kepemimpinan yang berlandaskan kebajikan. Mereka tidak hanya mengelola organisasi atau negara secara efisien, tetapi mereka juga memotivasi pengikut mereka untuk bertindak dengan cara yang beretika dan mendukung kebaikan bersama. Kepemimpinan transformasional mencerminkan perpaduan antara kebijaksanaan praktis (phronesis) dan kebajikan moral yang diharapkan oleh Aristoteles dari seorang pemimpin.
B. Teori Kepemimpinan Situasional
Teori kepemimpinan situasional mengajarkan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi. Pemimpin harus mampu menyesuaikan gaya mereka berdasarkan kebutuhan tim dan situasi yang dihadapi. Misalnya, dalam situasi krisis, gaya kepemimpinan yang lebih otoriter mungkin diperlukan, sementara dalam situasi yang lebih stabil, gaya kepemimpinan yang lebih demokratis dan partisipatif mungkin lebih efektif.
Teori ini menarik untuk dibandingkan dengan pemikiran Aristoteles tentang phronesis atau kebijaksanaan praktis. Aristoteles percaya bahwa pemimpin yang bijaksana harus mampu menilai situasi dengan baik dan bertindak sesuai dengan kondisi yang ada. Phronesis memungkinkan seorang pemimpin untuk mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang berbeda, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan intuisi moral.