Hari ke 20 Ramadhan, orang-orang mulai disibukkan dengan persiapan Lebaran. Anak-anak sudah ramai membicarakan baju baru, ibu-ibu mulai memikirkan sajian kue dan menu Lebaran lainnya. Pasar dan pusat-pusat perbelanjaan mulai ramai. Namun, bagi keluarga Mang Dudung, semua itu tidak berlaku. Jangankan memikirkan kue atau baju Lebaran, untuk makan esok pun belum pasti.
"Mak, kok kita belum beli baju Lebaran sih, teman-teman yang lain udah pada beli." Ujar Tuti anak sulungnya.
"Iya nanti kalau sudah punya uang kita beli." Jawab Mak Dedah. Dari sudut matanya ia melihat wajah anaknya cemberut.
"Kapan Mak? Tahun kemarin juga begitu. Mak bilang, kalau sudah punya uang mau beli. Eh sampai Lebaran tiba, tidak punya uang. Akhirnya kita nggak beli baju Lebaran."
"Setidaknya kita masih bisa pakai baju yang layak pakai. Lebaran itu tidak harus menggunakan baju baru, tapi disunahkan memakai baju terbaik."
"Tapi baju yang terbaik punyaku udah sempit."
"Maafkan Emak, ya Nak! Emak ingin membelikan kamu baju, tapi tidak sekarang. Kalau ada rezeki, beli baju tidak harus Lebaran, kan?"
"Ah, Emak. Kalau bukan Lebaran, kapan lagi maksain beli baju." Tuti marah, ia pergi meninggalkan ibunya yang sedang sibuk menyetrika baju-baju tetangga.
Mak Dedah tidak bisa berkata apa-apa. Ia faham perasaan anaknya yang masih berusia 11 tahun itu. Ia ingat apa yang sering dikatakan ustadz di pengajian, Lebaran tidak harus serba baru dan tidak perlu diada-adakan. Namun bagi anaknya, Lebaran berarti membeli baju baru. Tidak peduli baju itu harganya murah, yang penting baru. Seperti kata anaknya, kalau bukan Lebaran ia tidak pernah membeli baju. Ada kebutuhan lain yang harus diprioritaskan.
"Mak, si Tuti kenapa?" Tanya Mang Dudung dari teras. Lelaki itu sedang sibuk memperbaiki meja tetangganya yang rusak.
"Tuti minta dibelikan baju baru, Pak."
Mang Dudung, tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia sudah bisa mengira apa yang dikatakan istrinya pada Tuti.
"Mak..., Bapak!" Tuti tiba-tiba berlari masuk ke rumah. Ia kelihatannya gembira sekali.
Mak Dedah segera berlari keluar. Dilihatnya Tuti membawa kantong plastik hitam.
"Ada apa, Nak?" Apa yang kamu bawa.
"Mak, ini baju-baju dari Neng Nayla. Masih bagus-bagus. Semuanya cukup di Tuti."
Mak Dedah dan Mang Dudung saling berpandangan. Ia senang anaknya tidak marah lagi, walaupun dalam hatinya ia sedih karena tidak bisa membelikan baju baru.
"Alhamdulillah, maafkan Emak, ya Nak!" Dipeluknya anak perempuan itu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H