Hari mulai sore ketika Wira berenang ke tepian. Alih-alih membersihkan diri karena tubuhnya yang sudah terasa lengket, bocah kelas VI SD itu justru memilih berdiri di sisi sebuah dermaga. Matanya hitamnya tak lepas dari pandangan di sekeliling. Langit dengan semburat jingga kekuningan berpadu apik dengan ketenangan laut sore itu.
Di salah satu dermaga, bersandar sebuah kapal yang bersiap untuk membawa penumpang berlayar ke seberang pulau. Sungguh, pemandangan yang indah bagi seorang Wira. Meskipun bertahun-tahun sudah tinggal di sekitar pelabuhan, bolak-balik dermaga sesuka hati, tetap saja pemandangan langit sore seperti saat ini tetap mempesona.
Sesaat Wira menarik napas panjang. Merasakan semilir angin yang menerpa tubuhnya. Tak lama tangannya terulur merogoh saku celananya. Dikeluarkannya beberapa koin serta uang kertas yang sangat basah. Dengan pelan-pelan -karena takut merusak uang kertas , Wira pun mulai menghitung pendapatannya hari ini. Terdapat dua lembar uang duaribuan dan tiga koin bernilai seribu. Sedetik kemudian ia mendesah.
Kalau segini terus, kapan aku bisa beli sepatu baru?
Wira menghela napas sesaat. Terlahir dalam keluarga serba kekurangan, membuatnya tahu diri jika tak mungkin mengandalkan semua kebutuhannya pada kedua orangtuanya. Ayah ibunya hanya seorang pedagang asongan kecil di sekitar pelabuhan. Pendapatan mereka tak banyak. Menghidupi empat anak di era serba mahal seperti sekarang tentu tak mudah.
Sejujurnya mengumpulkan uang yang dilemparkan penumpang dari atas kapal merupakan hal  yang sangat berbahaya. Banyak resiko yang dipertaruhkan.  Tapi mau bagaimana lagi, ini pekerjaan sampingan Wira selain menjajakan makanan di sekitar pelabuhan. Ia benar-benar harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri.
Sudahlah! Hidup dijalani bukan dikeluhkan!
***
Lampung, Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H