Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Motivasi RTC] Bekas Luka

24 Mei 2016   04:18 Diperbarui: 24 Mei 2016   04:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bekas Luka 

Oleh Tim 10pm

Kupandangi foto berukuran sedang yang berada tepat diatas meja kecil di samping tempat tidurku. Tampak sepasang kekasih tengah tersenyum lebar mengarah ke kamera. Senyum ceria sarat bahagia. Aku yakin siapapun akan iri melihatnya. Ah, tapi dulu. Sekarang?

Aku menghela napas dalam- dalam. Sesak. Rasanya benar- benar menyakitkan. Tak ada lagi senyum dan tawa. Tak ada lagi bahagia. Semuanya semu. Fatamorgana.

Rasanya seperti mimpi. Baru kemarin ia melamarku di depan semua keluarga besarku. Mimpi-mimpi indah setiap malam terus ia dengungkan dari kejauhan. Rasanya tak berjarak. Setiap malam ia meneleponku, meyakinkanku. Aku akan menjadi miliknya yang utuh, dan ia akan menjadi milikku bukan separuh.

 Tanpa kusadari air mataku mulai membasahi kedua pipi. Untuk kesekian kali, saat mengingatnya di saat itu pula air mata tak berhenti menetes. Ari, aku rindu…

***

“Ada hal penting yang ingin kukatakan padamu?” ucap Ari pagi itu melalui sambungan telepon.

 “Apa?” tanyaku dengan dahi berkerut.

“Nanti saja. Di café biasa jam 4 sore.”

“Ok.” Senyumku melebar dengan kepala mengangguk mengiyakan.

Aku menduga-duga, hal apa yang akan dikatakan Ari padaku. Yang pasti kabar bahagia. Ya, aku yakin itu. Selama lima tahun pacaran, baru 6 bulan terakhir ini ia mulai menunjukkan keseriusannya dengan hubungan kami.

Hari itu aku bersiap dengan penampilan terbaik. Aku bahkan memoles wajah cukup lama. Aku harus cantik sore ini, bisikku dalam hati.

Dan tepatlah dugaanku. Ada hal berbeda yang kutemui saat sudah berada di depan café. Café ditata dengan sangat indah. Penuh dengan hiasan bunga warna- warni yang mendominasi keseluruhan ruangan. Selain itu café juga terlihat sepi. Tak nampak satu orang pengunjung pun, padahal biasanya saat- saat seperti ini café justru melayani banyak pengunjung. Ada apa ini?

Jantungku berdegup kencang. Seingatku hari ini bukan hari ulang tahun juga bukan hari kami jadian. Jadi ada apa, benakku kembali menduga- duga kemungkinan yang akan terjadi.

Tiba- tiba aku teringat sosok wanita di halte yang duduk tepat di sebelahku saat aku menuju kemari. Wajahnya berseri- seri saat melakukan pembicaraan via telepon. Entah dengan siapa, tetapi aku sempat mencuri dengar jika dia tak henti berbicara tentang rencana pernikahannya yang akan segera digelar bulan depan.

Akan kah Ari? Ah sudahlah…

Cepat- cepat kutepis pikiran yang semakin ngawur. Aku mempercepat langkah masuk ke dalam café. Seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari pintu menyambutku dengan senyuman ramah. Ia membawaku ke sebuah meja yang telah ditata dengan apik. Tampak Ari berdiri di sana dengan senyum terulas di bibir serta mata yang tak lepas terus menatapku.

 Aku tersipu sekaligus bingung. Namun belum sempat kuutarakan isi kepalaku, kejutan kembali hadir. Dari pintu belakang cafe keluarga besarku masuk. Ayah, ibu, tante, om juga beberapa sepupu dekatku.

Aku terbelalak tak percaya. “I—ini…”

Sontak pandanganku kembali beralih ke Ari. Ia masih di posisi semula dengan senyum yang juga masih terulas di bibir. Terlihat sedikit gugup, tetapi dia berusaha bersikap tenang.

Tiba- tiba Ari berlutut. Tangannya merogoh sesuatu dari saku celana lalu mengulurkan sebuah kotak beludru berwarna merah. Mataku melebar seketika. Bukan, bukan kotaknya yang mengejutkanku tetapi apa yang ada di dalam kotak tersebut. Cincin…

 “Kamu pasti kaget?” tanya Ari dengan sedikit gugup dan gemetar. Aku mengangguk mengiyakan. Dia tersenyum lalu menarik nafas panjang.

 “Hari ini disaksikan seluruh keluargamu, aku melamarmu menjadi istriku, Yang. “

Aku ternganga seketika. Tanpa sadar tanganku terangkat lalu menutup mulutku yang terbuka. Ini bukan mimpi kan?

“Will you marry me?”

***

Mataku mengerjap. Lagi- lagi aku mengingat masa lalu. Kejadian indah yang bila diingat justru hanya akan menyesakkan dada. Hari bahagia itu hanya kenangan saat ini. Kenangan yang menyakitkan. Pernikahan itu tak pernah terjadi. Dan selamanya takkan pernah terjadi. Fakta menghilangnya Ari tepat saat hari pernikahan kami akan berlangsung, sudah cukup membuktikan bahwa dia bukanlah laki-laki yang tepat untukku. Lelaki pecundang!

Sakit sekali rasanya hari itu. Ibu, ayah dan keluarga besarku dipermalukan di hadapan banyak orang. Ibu jatuh pingsan dan ayah berkali- kali harus membungkuk meminta maaf kepada para tamu undangan. Sedangkan aku? mengurung diri di kamar sembari menangisi lelaki berengsek itu.

Aku merasa dunia seakan runtuh. Berbagai pertanyaan menjejali otakku. Kenapa setelah lima tahun menjalin kasih, Ari tega mempermainkanku seperti ini? Apa sih yang yang ada di pikirannya? Kenapa ia begitu tega menyakitiku?

Aku benar- benar tak habis fikir dengan sikap Ari. Entah setan macam apa yang merasuki jiwanya? Tak ingatkah saat ia berlutut memintaku untuk menjadi pendampingnya. Tidakkah ia ingat masa- masa kebersamaan kami selama ini? Lima tahun jelas bukan waktu singkat. Nafasku tercekat. Sesak. Ari benar- benar keterlaluan. Dia sudah membabat habis harga diriku dan keluarga.

Hati macam apa yang kau punya

Hingga janji suci hanya permainan belaka

Hati macam apa yang kau miliki Hingga kau buat sirna janji-janji

Hati apa yang kau punya Hati iblis, setankah?

Tidakkah otakmu di tempat saat ini? Hati ibuku menjerit menahan pilu dan malu

Di mana hatimu?

Tidakkah kau selipkan, walau sedikit rasa iba di situ?

Tuhan tak tidur, pecundang! Ingin rasanya menghabisimu malam ini.

Butuh sebulan bagiku untuk akhirnya berani menampakkan diri keluar rumah. Aku butuh jawaban untuk semua pertanyaan yang terus memenuhi isi kepalaku. Ari seorang laki- laki. Dia seharusnya bersikap ksatria. Bertanggungjawab penuh terhadap semua kesakitan dan penghinaan yang aku dan keluarga alami. Biar bagaimanapun dia harus menjelaskan semuanya.

Melewati gang sempit rumahku menuju jalan raya, kupelankan laju kendaraan sambil menebar senyum keceriaan pada siapa saja pagi itu. Aku ingin terlihat bahagia tanpa bekas luka.

“Ya ampun kasian banget ya nasibnya! Batal kawin.”

“Malu- maluin keluarganya aja!”

“Ish, lihat udah kayak tulang teri aja tuh badan. Lagian nikah itu dipastiin lakinya mau. Jangan dipaksa. Yang ada kabur!”

 “Orang tua sama anak, sama gampangan sih!”

“Huss, jangan keras- keras! Nggak enak didengar.”

“Biarin aja, Bu. Biar jadi pelajaran. Zaman sekarang kita mesti hati-hati pilih calon mantu. Untung dia ga hamil duluan kalau hamil kan lebih memalukan.”

Cemooh serta sindiran para tetangga membuat pekak telinga. Di saat aku memutuskan untuk menemui Ari, disaat itu pula ibu- ibu tengah bergunjing akan kemalanganku. Hatiku semakin remuk redam, kenapa harus nama ibu dan ayah dibawa- bawa. Tidak cukupkah penderitaan ini hanya aku yang menanggungnya.

Tuhan, kenapa semenyakitkan ini? Air mataku tak henti- hentinya menetes. Aku bahkan lupa jika aku sedang menyetir sendiri.

Penjelasan dari Ari tak pernah kudapat. Sampai akhirnya kedatanganku hari itu disambut pemandangan berbagai dekorasi ornamen pernikahan. Tak ada lagi pertanyaan setelahnya. Apa yang menjadi kegelisahanku selama ini terjawab sudah. Dan tepat saat aku keluar dari mobil, suara lantang Ari terdengar.

 “Saya terima nikahnya Renata Dyah binti M. Duryah dengan mas kawin yang tersebut tunai.”

Ari benar- benar berengsek. Dia mempermainkan hidupku seenaknya. Bergegas aku kembali masuk ke dalam mobil. Muak rasanya jika aku harus bertemu dengannya. Kemarahanku memuncak. Emosi menggelegak. Jadi lima tahun kami selama ini hanya kesia- siaan?

Seharusnya aku menyadari bahwa Ari bukanlah pria terbaik untukku tanpa perlu penjelasan. Air mataku terus mengalir, tak terbendung. Kemalangan hidupku ternyata tak cukup sampai di situ. Banjirnya air mata membuat pandanganku terganggu. Aku pun kurang berkonsentrasi hingga akhirnya bunyi benturan cukup keras membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku terasa ringan, melayang dan hilang. entah berapa lama aku 'pergi', karena saat aku kembali, kudapati seluruh keluargaku berkumpul di dalam ruangan. Warna putih tampak mendominasi keseluruhan ruangan serta aroma obat yang mengusik indraku.

Satu fakta menyakitkan lagi harus kuterima. Aku mengalami kecelakaan dan kecelakaan itu menyebabkan kaki kiriku harus diamputasi. Ah, deritaku tak jua berhenti berakhir ternyata. Ari Erlan, aku sangat membencimu!

***

Tuhan tidak akan menimpakan cobaan di luar kemampuan manusia itu sendiri. Aku tersenyum tipis sembari meraih foto lalu mengeluarkannya dari pigura. Sudah saatnya diganti, bisikku dalam hati. Kuhela napas panjang sembari meletakkan pigura kembali ke tempatnya. Sedangkan foto kubuang ke tong sampah. Ah, yang lalu biarlah berlalu. Jadikan pelajaran.

Menyedihkan memang apa yang kualami beberapa bulan belakangan. Batal nikah, kecelakaan hingga cacat. Semua bertubi- tubi menghampiri hidupku. Aku jatuh dan terpuruk. Tapi Tuhan tidak pernah tidur. Perlahan aku berusaha bangkit menata hidupku. Tangis dan doa Ibu yang tiada henti di penghujung malam, Ayah yang senantiasa menemani dan memastikan aku mendapat perawatan terbaik juga perhatian dan kepedulian yang diberikan seluruh keluarga besar membuatku sadar memiliki mereka saja adalah keberuntungan yang tak ternilai harganya.

“Mbak, ayo keluar Mbak! Ibu hari ini masakin makanan kesukaan kamu loh.”

 Aku menoleh. Ibu berdiri di depan pintu dengan senyum tersungging di bibir.

Aku tersenyum dan mengangguk cepat. “Iya, Bu!” Kuraih tongkat yang kini menjadi teman sejatiku. Perlahan aku pun mulai melangkah.

Hidupku menjadi lebih baik. Satu hal yang kusyukuri dari berbagai cobaan yang menghampiri, membuat hubungan diantara keluarga semakin erat. Kini setiap hari, kami selalu menyempatkan makan bersama, hal yang dulu sangat jarang terjadi karena kesibukan masing- masing. Orang tuaku pun lebih banyak meluangkan waktu berkumpul dengan anak- anaknya. Bahkan kini akhir pekan selalu diisi dengan berpiknik bersama. Memang benar, selalu ada hikmah di balik peristiwa.

Tiba- tiba langkahku terhenti karena ayah memanggilku untuk bergabung di depan TV. “Mbak, lihat deh!” Seketika aku terkejut, terdiam membisu, tanpa suara. Layar televisi menampilkan tayangan beberapa wajah yang kukenal. Teramat kenal. Sepasang orang tua tengah menangis di depan UGD sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang juga sangat aku kenali.

Mengaku kerap kali mengalami kekerasan seksual istri tega membunuh suaminya AE dengan pisau dapur.

Anggota Tim 10pm :

1. Imas Siti Liawati

2. Arie Eliand

3. Risqia Thufhil Laeli

fb.com/RTC
fb.com/RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun