“Kamu pasti kaget?” tanya Ari dengan sedikit gugup dan gemetar. Aku mengangguk mengiyakan. Dia tersenyum lalu menarik nafas panjang.
“Hari ini disaksikan seluruh keluargamu, aku melamarmu menjadi istriku, Yang. “
Aku ternganga seketika. Tanpa sadar tanganku terangkat lalu menutup mulutku yang terbuka. Ini bukan mimpi kan?
“Will you marry me?”
***
Mataku mengerjap. Lagi- lagi aku mengingat masa lalu. Kejadian indah yang bila diingat justru hanya akan menyesakkan dada. Hari bahagia itu hanya kenangan saat ini. Kenangan yang menyakitkan. Pernikahan itu tak pernah terjadi. Dan selamanya takkan pernah terjadi. Fakta menghilangnya Ari tepat saat hari pernikahan kami akan berlangsung, sudah cukup membuktikan bahwa dia bukanlah laki-laki yang tepat untukku. Lelaki pecundang!
Sakit sekali rasanya hari itu. Ibu, ayah dan keluarga besarku dipermalukan di hadapan banyak orang. Ibu jatuh pingsan dan ayah berkali- kali harus membungkuk meminta maaf kepada para tamu undangan. Sedangkan aku? mengurung diri di kamar sembari menangisi lelaki berengsek itu.
Aku merasa dunia seakan runtuh. Berbagai pertanyaan menjejali otakku. Kenapa setelah lima tahun menjalin kasih, Ari tega mempermainkanku seperti ini? Apa sih yang yang ada di pikirannya? Kenapa ia begitu tega menyakitiku?
Aku benar- benar tak habis fikir dengan sikap Ari. Entah setan macam apa yang merasuki jiwanya? Tak ingatkah saat ia berlutut memintaku untuk menjadi pendampingnya. Tidakkah ia ingat masa- masa kebersamaan kami selama ini? Lima tahun jelas bukan waktu singkat. Nafasku tercekat. Sesak. Ari benar- benar keterlaluan. Dia sudah membabat habis harga diriku dan keluarga.
Hati macam apa yang kau punya
Hingga janji suci hanya permainan belaka