Tapi lima besar pun sama sulitnya, gumam Olin dalam hati. Nilainya selama ini pas- pasan. Meski bukan yang terbawah di kelas, tetap saja tak bisa dikatakan baik dan sekarang ia harus meraih lima besar kelas untuk bisa belajar balet.
Hidup itu memang perjuangan, Lin!
***
Hati Olin berdebar cemas saat hari pembagian rapor. Ia deg- degan menunggu Emak menghadap wali kelasnya. Sungguh, Olin menepati janjinya untuk belajar lebih giat. Sejujurnya ia sempat putus asa di awal. Deretan angka serta rumus yang harus dihafalnya cukup memusingkan kepala. Dalam hati Olin menyesali kemalasannya yang jarang mendengar penjelasan guru. Namun Olin pantang berputus asa, ia mengejar ketinggalan dengan banyak membaca serta bertanya pada teman- temannya. Beruntungnya mereka tak pernah pelit untuk berbagi ilmu.
“Lin!”
Emak muncul dengan wajah berbinar. Olin sumringah. Melihat raut wajah Emak yang berbeda dari biasanya, Olin optimis.
“Emak bangga deh sama lu, Lin!”
Olin tersenyum lebar. Buru- buru diambilnya rapor hasil belajarnya dari tangan Emak. Seketika matanya terbelalak. “Rangking enam, Mak? Yah kok cuma enam sih. Harusnya kan lima, Mak. Bu Guru salah tulis kagak, Mak? Duh, sia- sia dong Olin belajar selama ini. Kagak jadi dah Olin belajar balet, Mak.”
“Huss, mulut lu, Lin!” tegur Emak dengan mata melotot. “Yah kan lu yang belajar, mana Emak tahu kenapa lu rangking enam. Lagian enam juga bagus menurut Emak. Daripada biasanya. Dua puluhan, huh!”
“Yah tapi tetap aja, Mak. Olin kagak jadi les dah!”
Sesaat hening.