“Pikirkan lagi ucapan Ibu baik- baik, Nin!”
Aku mengangguk lemah. “Iya, Bu!”
“Ibu bilang gini juga untuk kebaikan kamu. Anak kamu akan semakin besar. Biaya jelas akan semakin mahal. Kalian juga harus mulai memikirkan membangun rumah.”
Aku memilih diam. “Lagipula sayang juga gelar sarjana kamu. Sudah mahal- mahal kuliah tapi tidak digunakan, buat apa?” sambung ibu lagi.
“Untuk urusan anak kamu nggak usah dipikirin. Bawa aja ke kampung. Nanti ibu yang urus. Kamu sama Hanif fokus cari duit.”
Kepalaku menunduk. Selalu seperti ini. Setiap Ibu datang berkunjung, akan ada kata- kata sesak dan menyakitkan yang harus kudengar. Ibu selalu berulang menyuruhku bekerja. Padahal sejak memiliki Randi, anakku yang sekarang berusia dua tahun, kuputuskan menjalani profesi ibu rumah tangga. Aku ingin mengabdikan diri sebagai istri dan ibu yang baik. Rasanya sayang melewatkan setiap pertumbuhan dan perkembangan buah hatiku. Toh, suamiku pun tak keberatan. Yang penting aku bisa mengatur keuangan kami dengan baik, mengingat Mas Hanif hanya pekerja kantoran biasa.
Sebenarnya gaji Mas Hanif memang tidak bisa dikatakan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang aku merasa kehidupan semakin sulit. Harga bahan pokok yang kian mahal serta kebutuhan Randi yag juga mulai bertambah. Sebisa mungkin, setiap bulan aku harus cermat dalam mengelola gaji Mas Hanif. Dan kupikir selama semua baik- baik saja dan aku masih bisa mengatur semuanya, tak ada masalah kan?
Tapi itu menurutku. Bukan menurut ibuku.
***
“Ibu tadi bilang lagi ya?”
Aku mengangguk. Mas Hanif menghempaskan diri di ranjang sebelahku. Ini sudah malam dan Ibu sudah sampai dengan selamat kembali ke kampung lima jam yang lalu. Setiap dua atau tiga bulan sekali, beliau memang menyempatkan mengunjungiku. Nengok cucu, katanya. Tapi tetap saja bukan hanya perkara soal menengok Randi, tapi juga tentang kehidupan keluargaku.